Proyek Kakao IndoCacao resmi diumumkan sebagai kolaborasi Indonesia–Prancis untuk membenahi hulu hingga hilir komoditas kakao nasional. Program ini menempatkan peningkatan produktivitas, kualitas pascapanen, dan akses pasar sebagai prioritas, dengan target penerima manfaat yang inklusif—khususnya petani muda dan perempuan. Pemerintah pusat menggandeng lembaga riset, pemda, serta pelaku industri agar intervensi lapangan berpijak pada data dan kebutuhan riil petani.

Di tingkat teknis, Proyek Kakao IndoCacao menyiapkan paket pelatihan budidaya adaptif-iklim, peremajaan tanaman, hingga standardisasi fermentasi dan pengeringan. Rantai nilai juga diperkuat melalui pembiayaan mikro, fasilitas penanganan pascapanen bersama, dan sistem penelusuran hasil kebun agar memenuhi permintaan pasar premium. Dengan kerangka keberlanjutan dan tata kelola transparan, program diharapkan mengangkat pendapatan rumah tangga tani sekaligus memulihkan daya saing kakao olahan Indonesia di pasar global.

Fokus Program, Mitra, dan Target Dampak

Di fase awal, Proyek Kakao IndoCacao memetakan sentra prioritas berdasarkan produktivitas, umur tanaman, serta kesiapan kelembagaan petani. Paket intervensi mencakup penyediaan bahan tanam unggul tahan hama, sekolah lapang untuk pengendalian terpadu, dan demonstrasi plot agroforestri untuk menjaga kesuburan lahan. Di hilir, pelatihan fermentasi tiga hingga lima hari, penggunaan rak pengering, dan pengujian kadar air menjadi standar agar mutu biji konsisten.

Program ini dijalankan lewat kemitraan lintas lembaga: pemerintah pusat dan daerah, lembaga riset dalam–luar negeri, universitas, offtaker, serta koperasi. Skema pembiayaan difokuskan pada peralatan bersama—seperti kotak fermentasi, rumah pengering, dan gudang mini—agar petani kecil bisa mencapai skala ekonomi. Proyek Kakao IndoCacao juga menekankan inklusi sosial: minimal porsi signifikan penerima manfaat berasal dari pemuda dan perempuan, termasuk peran mereka sebagai pengelola pascapanen dan pencatat mutu.

Untuk mendorong pasar, offtaker didorong meneken kontrak berbasis kualitas, sementara pemerintah menyiapkan fasilitasi sertifikasi keberlanjutan dan akses logistik. Data transaksi dan kualitas akan dicatat dalam sistem penelusuran sehingga pembeli mengetahui asal-usul biji. Dengan desain seperti ini, Proyek Kakao IndoCacao menargetkan turunnya biaya produksi per kilogram, naiknya harga jual biji terfermentasi, dan bertambahnya kemitraan jangka panjang antara koperasi dan industri.

Konteks Industri, Tantangan, dan Peluang

Selama beberapa tahun terakhir, produktivitas kakao rakyat cenderung menurun karena penuaan tanaman, serangan hama penyakit, dan praktik budidaya yang belum optimal. Di saat bersamaan, perubahan iklim memicu cuaca ekstrem yang berdampak pada hasil dan kualitas. Ketergantungan pada biji non-fermentasi juga membuat posisi tawar petani lemah di hadapan pembeli. Dalam kondisi ini, Proyek Kakao IndoCacao hadir untuk mengoreksi titik-titik kritis: dari kualitas bahan tanam, efisiensi pemeliharaan, sampai standarisasi mutu pascapanen.

Peluangnya terbuka lebar. Industri kakao olahan Indonesia (butter, powder, liquor) memiliki kapasitas yang besar dan akses pasar ekspor yang mapan. Jika pasokan biji berkualitas meningkat, utilisasi pabrik dapat ditingkatkan sambil memperluas lini produk bernilai tambah. Proyek Kakao IndoCacao juga menjembatani kerja sama riset terapan—misalnya pengembangan kultur starter fermentasi lokal, sensor kadar air murah, serta aplikasi pencatatan kebun—agar inovasi cepat diadopsi. Dengan mendorong koperasi sebagai agregator mutu dan pembiayaan, petani kecil bisa masuk ke rantai nilai premium dan menikmati skema harga diferensiasi.

Strategi pelaksanaan dibagi tiga tahap. Tahap pertama (persiapan) menuntaskan pemetaan baseline: produktivitas, luas lahan, umur tanaman, dan peta kelembagaan petani. Pada fase ini, Proyek Kakao IndoCacao membentuk tim teknis lintas pemangku kepentingan, menyiapkan modul pelatihan, serta menyusun paket insentif adopsi praktik baik. Tahap kedua (eksekusi) berfokus pada sekolah lapang, penyaluran bahan tanam unggul, dan pembangunan fasilitas pascapanen komunal. Koperasi memperoleh pendampingan tata niaga, pencatatan kualitas, dan manajemen risiko harga.

Tahap ketiga (penguatan) menempatkan monitoring–evaluasi sebagai jantung tata kelola. Indikator utama meliputi peningkatan produktivitas per hektare, rasio biji terfermentasi yang memenuhi standar, kenaikan harga di tingkat petani, partisipasi pemuda–perempuan, serta penurunan kehilangan pascapanen. Data dikumpulkan secara berkala dan dipublikasikan melalui dasbor terbuka agar akuntabilitas terjaga. Proyek Kakao IndoCacao juga mengadopsi prinsip keberlanjutan: konservasi tutupan pohon penaung, efisiensi air, dan pengurangan pembakaran lahan.

Baca juga : Pengaruh Jawa Kaledonia Baru dalam Jejak Sejarah

Untuk memperkuat pembiayaan, program mendorong skema kemitraan dagang dengan industri, kredit mikro berbasis arus kas, serta insentif bagi koperasi yang mencapai target mutu. Di sisi pasar, promosi origin dilakukan bersama pemerintah daerah untuk menonjolkan profil rasa dan storytelling komunitas. Roadmap lima tahun menargetkan terbentuknya koridor kakao berkualitas dengan jaringan fasilitas fermentasi–pengeringan yang terhubung, sehingga biaya logistik menurun. Pada tataran nasional, Proyek Kakao IndoCacao diharapkan menyambungkan agenda peremajaan tanaman dengan penguatan hilirisasi, sehingga industri olahan memiliki pasokan stabil dan petani menikmati nilai tambah.

Dengan tata kelola transparan, dukungan riset, dan keterlibatan aktif dunia usaha, Proyek Kakao IndoCacao berpeluang menjadi model replikasi di sentra lain. Tujuannya jelas: menyeimbangkan produktivitas, mutu, dan keberlanjutan, sekaligus memastikan inklusi sosial tidak sekadar jargon. Jika seluruh mata rantai bergerak serempak, Proyek Kakao IndoCacao dapat mengembalikan posisi kakao Indonesia di peta global—bukan hanya sebagai pemasok bahan baku, tetapi sebagai produsen bernilai tambah tinggi yang memberi manfaat nyata bagi petani kecil.