Persidangan Ujaran Seksis terhadap Ibu Negara Prancis, Brigitte Macron, resmi digelar di Paris pada Senin, 27 Oktober 2025. Kasus ini menyorot sepuluh terdakwa yang dituduh melakukan perundungan digital dan menyebarkan fitnah berbasis gender terhadap istri Presiden Emmanuel Macron. Para terdakwa berusia antara 41 hingga 60 tahun dan terdiri dari delapan pria serta dua perempuan. Mereka dituduh menyebarkan teori konspirasi serta ujaran seksis yang merugikan reputasi pribadi Brigitte Macron di media sosial.

Jaksa menegaskan, tindakan para terdakwa tidak sekadar kritik politik, melainkan serangan yang merendahkan martabat seseorang berdasarkan gender. Persidangan Ujaran Seksis ini menjadi simbol upaya hukum Prancis untuk memperkuat perlindungan terhadap korban kekerasan daring. Tuduhan yang dilayangkan termasuk pencemaran nama baik, pelecehan berbasis gender, serta penyebaran informasi palsu dengan motif politik.

Pemerintah Prancis menyebut perkara ini sebagai ujian bagi hukum siber Eropa dalam menghadapi gelombang ujaran kebencian yang melibatkan figur publik. Masyarakat menilai, penyelesaian kasus ini akan menjadi tolok ukur efektivitas peraturan yang melindungi perempuan dari serangan digital di ruang daring yang semakin tak terbatas.

Dakwaan dan Bukti di Persidangan

Jaksa penuntut umum menghadirkan bukti berupa tangkapan layar, rekaman video, serta posting media sosial yang menampilkan ujaran seksis dan tuduhan palsu terhadap Ibu Negara. Salah satu narasi yang paling viral adalah klaim palsu bahwa Brigitte Macron adalah transgender bernama Jean-Michel Trogneux, rumor yang telah berkali-kali dibantah. Dalam sidang, pengacara korban menyebut penyebaran isu ini bagian dari kampanye sistematis untuk mendiskreditkan pemerintahan Prancis. Persidangan Ujaran Seksis menyoroti bagaimana kabar bohong bisa menjadi alat serangan politik yang berdampak luas.

Pihak pengacara menilai, kejahatan daring berbasis gender sering kali dianggap sepele, padahal efeknya terhadap korban bisa sangat dalam. Brigitte Macron sendiri memilih untuk tidak hadir di ruang sidang, namun anaknya, Tiphaine Auzière, yang juga seorang pengacara, hadir memberikan kesaksian. Ia menegaskan bahwa serangan terhadap ibunya bukan sekadar penghinaan pribadi, tetapi bentuk kekerasan simbolik terhadap perempuan di ruang publik. “Kami ingin masyarakat sadar bahwa ujaran kebencian memiliki konsekuensi hukum,” ujar Tiphaine di hadapan media.

Dalam persidangan, sejumlah terdakwa berdalih bahwa unggahan mereka adalah bagian dari kebebasan berekspresi. Namun, jaksa menegaskan batas antara kritik dan pelecehan harus dijaga. Persidangan Ujaran Seksis menjadi contoh bahwa kebebasan berbicara tidak berarti bebas menyerang martabat seseorang. Pengadilan Paris menegaskan bahwa komentar publik di dunia maya tetap tunduk pada hukum dan etika yang melindungi individu dari perundungan digital. Para terdakwa terancam hukuman penjara hingga dua tahun serta denda maksimal 60 ribu euro jika terbukti bersalah.

Dampak Sosial dan Reaksi Internasional

Kasus ini mengguncang opini publik dan menyoroti meningkatnya kekerasan verbal terhadap figur publik perempuan di Eropa. Pemerintah Prancis melalui Kementerian Kesetaraan Gender menilai Persidangan Ujaran Seksis sebagai momentum penting untuk menegakkan norma sosial di dunia digital. Banyak organisasi perempuan mendukung langkah hukum yang diambil Brigitte Macron, menilai ini bisa menjadi preseden kuat bagi korban pelecehan daring lainnya. Beberapa lembaga swadaya masyarakat bahkan menyerukan agar platform media sosial memperketat algoritma untuk mendeteksi ujaran kebencian.

Di luar negeri, kasus ini turut menarik perhatian media internasional. Lembaga hak asasi manusia menyebut bahwa fenomena perundungan digital tidak mengenal batas negara dan perlu penanganan lintas yurisdiksi. Persidangan Ujaran Seksis menjadi contoh nyata bahwa hukum harus beradaptasi dengan kecepatan arus informasi di dunia digital. Negara-negara Eropa lainnya seperti Jerman dan Spanyol kini tengah mempertimbangkan kebijakan serupa untuk memperkuat perlindungan hukum terhadap perempuan di ruang daring.

Selain efek hukum, kasus ini juga menimbulkan diskusi publik soal batas tanggung jawab media dalam mengelola rumor. Banyak jurnalis diminta melakukan verifikasi ketat sebelum menayangkan isu yang melibatkan kehidupan pribadi tokoh publik. Akademisi komunikasi menilai, budaya “clickbait” sering kali memperburuk penyebaran hoaks. Pemerintah Prancis berharap bahwa hasil akhir Persidangan Ujaran Seksis akan memberikan efek jera bagi pelaku serta meningkatkan kesadaran masyarakat terhadap pentingnya etika digital dalam demokrasi modern.

Meski dukungan publik cukup besar, tantangan utama dalam menegakkan hukum digital adalah kompleksitas pembuktian dan yurisdiksi lintas negara. Banyak akun penyebar hoaks beroperasi menggunakan identitas anonim dan server luar negeri, sehingga proses hukum memerlukan kerja sama internasional. Dalam konteks Persidangan Ujaran Seksis, pengadilan menghadapi tantangan serupa, terutama dalam menelusuri asal-usul unggahan yang memicu gelombang ujaran kebencian. Pemerintah kini tengah mengkaji mekanisme kerja sama baru dengan Europol untuk mempercepat pelacakan pelaku di dunia maya.

Baca juga : Insiden Portal Pajak Prancis dan Isu Identitas Brigitte Macron

Selain itu, perdebatan mengenai batas kebebasan berpendapat masih menjadi isu hangat. Aktivis hak digital menilai bahwa penegakan hukum harus seimbang antara perlindungan korban dan hak berekspresi warga. Namun, pakar hukum siber berpendapat bahwa perlindungan terhadap martabat manusia harus lebih diutamakan dalam konteks ujaran seksis yang sistematis. Persidangan Ujaran Seksis juga membuka wacana perlunya regulasi etik bagi pengguna media sosial, termasuk kewajiban platform untuk menghapus konten berbahaya dalam waktu 24 jam setelah laporan.

Dari sisi politik, dukungan terhadap Brigitte Macron meningkat signifikan setelah publik menyaksikan dampak nyata fitnah terhadap keluarganya. Presiden Macron menegaskan bahwa serangan terhadap keluarganya tidak akan memengaruhi komitmen pemerintah dalam memperjuangkan kesetaraan gender dan keadaban publik. Beberapa pengamat menilai, kasus ini bisa menjadi momentum positif bagi reformasi undang-undang kebencian daring di Prancis. Dengan menyoroti persoalan moralitas, hukum, dan teknologi, Persidangan Ujaran Seksis menegaskan bahwa ruang digital bukanlah wilayah tanpa aturan dan penghormatan terhadap martabat tetap harus dijaga.