Komite Konstitusi Palestina diumumkan di Paris setelah pertemuan Emmanuel Macron dan Mahmoud Abbas pada 11 November 2025, menandai langkah lanjutan Prancis pascapengakuan Negara Palestina. Panel ini dirancang untuk menyatukan pakar hukum, tata kelola, dan pemilu guna menyiapkan kerangka konstitusional, termasuk rancangan struktur lembaga, relasi pusat-daerah, serta jaminan hak asasi. Prancis menekankan proses inklusif dan sesuai standar demokrasi modern agar dokumen dasar dapat menjadi rujukan rekonsiliasi politik serta pemulihan pascaperang.

Di tingkat teknis, mandat awal menyasar harmonisasi hukum yang sudah ada, pemutakhiran aturan pemilu, dan tata kelola keuangan publik. Melalui pendekatan bertahap, panel menargetkan naskah kerja yang dapat diuji publik sebelum masuk ke fase perumusan final. Untuk menjaga legitimasi, konsultasi dengan kelompok masyarakat sipil akan dibuka melalui lokakarya tematik. Dalam kerangka itu, Komite Konstitusi Palestina diproyeksikan menjadi jembatan antara kebutuhan kedaruratan dan rancang bangun institusi yang berkelanjutan.

Mandat, Proses, dan Peran Paris

Prancis menempatkan diri sebagai fasilitator yang menjahit dukungan teknis lintas lembaga, dari kementerian sampai universitas. Agenda awal meliputi pemetaan hukum yang relevan, komparasi praktik baik, dan penyusunan kalender kerja yang realistis. Sejalan dengan itu, Komite Konstitusi Palestina akan mengarsipkan opsi desain kelembagaan—presidensial, parlementer, atau hibrida—beserta mekanisme checks and balances untuk mencegah pemusatan kuasa. Paris menekankan perlindungan hak minoritas, independensi peradilan, serta kebebasan pers sebagai fondasi transparansi.

Untuk menjaga akuntabilitas, pertemuan berkala akan menghasilkan ringkasan kemajuan yang dapat dipantau publik dan mitra internasional. Setiap rancangan pasal diuji dari sisi kejelasan, keterterapan, dan risiko kebijakan, lalu dikaitkan dengan rencana transisi administrasi. Dalam desain itu, Komite Konstitusi Palestina juga mendorong skema pengawasan anggaran dan audit yang kuat, sehingga bantuan pembangunan tidak terhambat oleh kelemahan tata kelola. Partisipasi pakar pemilu Eropa diundang untuk memperkaya metodologi, sementara Prancis menyiapkan dukungan logistik serta pendanaan awal untuk kerja panel.

Isi Draf, Reformasi, dan Tantangan Hukum

Draf awal yang dibawa Mahmoud Abbas memprioritaskan katalog hak dasar—kebebasan berpendapat, kebebasan beragama, dan jaminan prosedural—serta rambu pembatasan yang jelas. Rancangan ini juga menyoroti supremasi konstitusi, asas legalitas, dan mekanisme perubahan yang tidak mudah disalahgunakan. Pada tahap konsultasi, Komite Konstitusi Palestina akan memetakan relasi sipil-militer, status kepolisian, dan tata kelola keamanan agar selaras dengan hukum humaniter dan hak asasi. Penataan kewenangan pusat-daerah dipadukan dengan norma fiskal yang disiplin.

Reformasi perundang-undangan turunan diproyeksikan berjalan paralel, terutama untuk hukum pemilu, partai politik, dan otonomi lokal. Panel akan menimbang sistem pemilu yang menjembatani representasi proporsional dengan stabilitas pemerintahan. Tantangan lain berkaitan dengan harmonisasi peraturan yang tumpang tindih dan kebutuhan kodifikasi yang konsisten. Di sinilah Komite Konstitusi Palestina menjadi wadah untuk menyaring masukan kampus, asosiasi profesi, dan kelompok perempuan agar rancangan final inklusif serta operasional ketika diujicobakan dalam pemilu transisi.

Di kawasan, kejelasan peta jalan konstitusi dipandang sebagai prasyarat dukungan ekonomi, keamanan, dan bantuan kemanusiaan lanjutan. Mitra internasional mendorong tata kelola yang kredibel agar arus investasi pembangunan tidak terganjal oleh ketidakpastian hukum. Untuk memastikan kredibilitas, Komite Konstitusi Palestina akan mengikat indikator kinerja—mulai dari jadwal konsultasi sampai publikasi draf—yang dapat dipantau berkala. Di sisi diplomasi, Prancis mengoordinasikan dukungan teknis dengan negara Uni Eropa dan lembaga keuangan pembangunan.

Baca juga : Palestina, Gelombang Pengakuan Negara di PBB

Pendanaan tahap awal diarahkan ke riset hukum, konsultasi publik, dan penguatan sekretariat panel. Laporan ringkas keuangan akan dipublikasikan triwulan untuk menjaga kepercayaan donor. Dalam komunikasi publik, Komite Konstitusi Palestina menyiapkan dokumen non-teknis agar warga memahami implikasi pasal-pasal kunci, seperti jaminan hak sosial dan mekanisme penyelesaian sengketa. Keterbukaan ini penting untuk meredam disinformasi dan memperkuat legitimasi proses, terutama di wilayah yang akses informasinya terbatas.

Menuju pemilu, tahapan kritikal mencakup pembaruan daftar pemilih, penataan wilayah pemilihan, dan pendidikan pemilih yang ramah pemula. Pengawasan independen didorong melalui kolaborasi organisasi lokal dan mitra internasional. Pada fase ini, Komite Konstitusi Palestina menjadi simpul koordinasi antara panitia pemilu, aparat keamanan, dan kelompok pemantau untuk menjamin akses setara bagi peserta. Jika indikator demokrasi—partisipasi, kompetisi adil, dan kebebasan kampanye—terpenuhi, transisi kelembagaan dapat dimulai dengan landasan hukum yang kokoh dan diakui masyarakat.