Dapur MBG Polri di SPPG Pejaten, Jakarta, menarik perhatian delegasi Kedutaan Besar Prancis yang datang bersama tim ahli Badan Gizi Nasional. Kunjungan itu menyorot bagaimana dapur layanan gizi dikelola mulai dari penerimaan bahan, proses masak, hingga pengemasan makanan sebelum distribusi. Delegasi menilai model kerja yang rapi membuat alur produksi lebih mudah diaudit dan ditiru di lokasi lain. Mereka juga menanyakan kapasitas harian, kebutuhan tenaga, dan pola rantai pasok bahan utama.

Dapur MBG Polri di SPPG Pejaten menarik delegasi Prancis, dinilai higienis dan berstandar, Polri siapkan perluasan lewat jaringan Polres. Di area produksi, petugas menerapkan pembagian zona bersih dan zona kotor, penggunaan alat pelindung, serta pencatatan suhu dan waktu masak. Pemeriksaan keamanan pangan juga dilakukan rutin sebelum makanan keluar, sehingga standar higienitas tidak hanya bergantung pada kebiasaan pekerja. Catatan sanitasi, daftar alergi, dan label kemasan dicek agar tidak ada salah distribusi. Polri menyebut prosedur ini dirancang agar kualitas menu terjaga meski volume produksi meningkat.

Pemerintah menempatkan program makan bergizi sebagai investasi jangka panjang untuk tumbuh kembang anak dan ketahanan ekonomi. Karena itu, Dapur MBG Polri diposisikan sebagai contoh praktik operasional yang bisa mendukung target pemerataan layanan gizi di perkotaan dan daerah. Di tengah sorotan publik, Dapur MBG Polri juga dituntut transparan, terukur, dan konsisten dalam menjaga mutu harian. Kunjungan ini disebut memperkaya pertukaran pengetahuan tentang menu lokal dan manajemen risiko.

Standar Higienitas dan Pemeriksaan Keamanan Pangan

Sorotan utama delegasi tertuju pada standar kerja dapur yang mengutamakan kebersihan, keamanan, dan jejak audit yang jelas dari awal hingga akhir, serta kepatuhan SOP tertulis yang konsisten. Alur kerja dimulai dari penerimaan bahan, pemisahan bahan mentah, proses pencucian, hingga penyimpanan di ruang dingin sesuai kategori bahan kering, segar, beku, dan siap olah berdasarkan alur satu arah. Petugas menimbang porsi berbasis kebutuhan gizi, mencatat batch produksi, dan menyiapkan sampel arsip untuk evaluasi bila muncul keluhan di kemudian hari. Dalam skema ini, Dapur MBG Polri tidak hanya mengejar kuantitas, tetapi juga konsistensi rasa dan porsi harian.

Tim kesehatan internal bersama Dokkes Polri melakukan pemeriksaan keamanan pangan sebelum makanan didistribusikan ke penerima manfaat. Pemeriksaan meliputi kondisi bahan, tanggal kedaluwarsa, kebersihan peralatan, suhu masak, serta kepatuhan pekerja pada prosedur cuci tangan, sanitasi meja, dan pengendalian hama. Hasil pengecekan dicatat sebagai bagian dari kontrol mutu harian, lalu kemasan diberi label waktu produksi, jenis menu, serta rute distribusi untuk memudahkan pelacakan. Pengelola menyiapkan jalur distribusi dengan kontainer tertutup, kendaraan, dan waktu tempuh yang dipantau di luar jam sibuk.

Di sisi lain, pengelola menjelaskan pola pengadaan yang mengutamakan produk lokal dan rantai pasok pendek agar bahan datang lebih segar dan biaya logistik terukur. Bahan dari pemasok terdekat dinilai membantu menjaga kualitas sekaligus menggerakkan ekonomi sekitar, termasuk UMKM pangan yang memenuhi standar. Delegasi menanyakan mekanisme seleksi pemasok, pemeriksaan saat penerimaan, dan penanganan bahan yang tidak memenuhi syarat, termasuk prosedur penolakan dan penggantian cepat. Model ini disebut penting agar Dapur MBG Polri mudah direplikasi tanpa kehilangan standar di lapangan.

Rencana Perluasan SPPG dan SOP Berjenjang

Setelah kunjungan tersebut, Polri menegaskan komitmen memperluas layanan melalui pembangunan SPPG di berbagai wilayah secara bertahap dan terukur nasional pula. Targetnya adalah minimal satu titik layanan per Polres di jaringan 508 satuan, agar produksi dan distribusi lebih dekat dengan sekolah dan komunitas penerima. Skema perluasan ini menuntut kesiapan dapur, gudang, armada, serta sistem pencatatan menu dan porsi berbasis standar gizi agar operasi tidak bergantung pada satu lokasi saja. Dalam perencanaan, Dapur MBG Polri dijadikan rujukan untuk menetapkan kapasitas, tata letak ruang, kebutuhan peralatan, dan standar alur kerja harian.

Di tingkat organisasi, Mabes Polri membentuk gugus tugas MBG berjenjang dari pusat hingga daerah untuk memastikan keputusan teknis berjalan seragam dan mudah diawasi. Panduan kerja disusun dalam bentuk SOP, mulai dari pengadaan, pemeriksaan bahan, proses masak, manajemen limbah, hingga penanganan insiden keamanan pangan, termasuk pelaporan cepat. Setiap dapur diminta memiliki sistem quality control harian yang mencakup checklist kebersihan, kalibrasi alat, audit internal berkala, dan pelaporan deviasi. Pelatihan pekerja juga diprioritaskan, termasuk pengaturan shift, manajemen risiko alergi, simulasi penarikan produk, dan komunikasi rute distribusi.

Penguatan ini dinilai penting karena program makan bergizi menyentuh isu gizi anak, keterjangkauan, dan keadilan layanan antardaerah. Di beberapa daerah, tantangan muncul pada ketersediaan bahan segar, listrik untuk rantai dingin, air bersih, serta jarak tempuh menuju titik distribusi. Polri menyebut kemitraan dengan pemerintah daerah dan pelaku usaha lokal diperlukan agar rantai pasok tidak putus saat permintaan naik, sekaligus menjaga harga tetap stabil. Ketika jumlah dapur bertambah, Dapur MBG Polri juga diminta membuka kanal evaluasi publik agar kepercayaan masyarakat terjaga.

Dukungan Internasional dan Tantangan Eksekusi Program

Kunjungan delegasi Prancis dipandang sebagai sinyal ketertarikan pada tata kelola program makan bergizi yang sedang dijalankan di Indonesia, khususnya pada model dapur terpusat yang memasok sekolah, dengan jadwal pengiriman harian, pengemasan rapi, dan porsi seragam untuk tiap penerima di sekolah. Mereka menekankan dapur sekolah bukan sekadar layanan sosial, tetapi investasi yang menyentuh prestasi belajar, kesehatan jangka panjang, dan produktivitas ekonomi, sehingga standar operasional perlu stabil.

Dalam diskusi teknis, delegasi menyoroti pentingnya rantai pasok pendek, penggunaan produk lokal, serta standar keamanan pangan yang bisa diaudit oleh publik, termasuk pencatatan bahan dan pelacakan batch. Di tahap ini, Dapur MBG Polri dinilai menawarkan contoh operasional yang mudah dipahami karena alurnya jelas, terdokumentasi, dan melibatkan pemeriksaan sebelum distribusi. Kerja sama internasional disebut dapat memperkuat rancangan kebijakan, terutama pada aspek perencanaan, monitoring, dan evaluasi berbasis data yang terhubung dari pusat ke daerah.

Baca juga : Bantuan Pengungsi Batunagodang Dari WN Prancis 2025

Prancis disebut membuka ruang dukungan melalui kolaborasi dengan World Food Programme dan penugasan tenaga ahli di Bappenas untuk membantu sinkronisasi program lintas kementerian. Pendampingan itu biasanya menyentuh penghitungan kebutuhan porsi, standar menu sesuai usia, tata kelola pengadaan yang transparan, penguatan pelatihan pekerja, serta indikator keberhasilan yang bisa diukur. Bagi pengelola, Dapur MBG Polri menjadi titik uji untuk melihat bagaimana standar global diterjemahkan menjadi SOP yang realistis, efisien, dan dapat dipertanggungjawabkan di lapangan. Meski demikian, sejumlah tantangan tetap ada, mulai dari disparitas harga bahan antarwilayah, kapasitas pemasok lokal, hingga kesiapan fasilitas penyimpanan dingin di daerah terpencil.

Pengawasan juga perlu memastikan program tidak hanya tepat sasaran, tetapi juga tepat waktu, aman, dan tidak menimbulkan pemborosan anggaran, terutama pada fase ekspansi cepat. Para pemangku kepentingan mendorong keterbukaan data produksi, audit berkala, sistem pelaporan insiden, serta mekanisme umpan balik dari sekolah dan orang tua. Dengan perbaikan berkelanjutan, Dapur MBG Polri diharapkan membantu memperkuat kepercayaan publik sekaligus menjadi model bagi pengembangan dapur gizi yang lebih luas dan berkelanjutan.