
Pemerintah Prancis mengumumkan rencana pengembalian artefak bersejarah berupa drum bicara yang dirampas selama periode kolonial ke Pantai Gading. Drum tersebut dikenal dengan nama Djidji Ayokwe, sebuah drum kayu besar yang bukan sekadar alat musik, melainkan juga berfungsi sebagai media komunikasi tradisional.
Langkah pengembalian ini diumumkan pada Senin, 7 Juli 2025, oleh Kementerian Kebudayaan Prancis. Artefak tersebut selama lebih dari satu abad menjadi koleksi di Museum Quai Branly di Paris, Prancis. Pengembalian drum bicara ini menjadi bagian dari upaya lebih luas pemerintah Prancis untuk merevisi sejarah kolonial dan memperbaiki hubungan dengan bekas koloninya di Afrika.
Table of Contents
Makna Historis Drum Bicara Djidji Ayokwe
Drum bicara Djidji Ayokwe adalah simbol penting bagi masyarakat Ebrie di Pantai Gading. Drum ini dahulu digunakan untuk mengirim pesan antar desa, memanggil masyarakat berkumpul, menyampaikan berita penting, hingga mengumumkan perang. Dengan diameter sekitar 1,8 meter dan panjang hampir 3 meter, drum ini menghasilkan suara keras yang dapat terdengar hingga radius puluhan kilometer.
Pada tahun 1916, drum ini dirampas oleh pasukan kolonial Prancis setelah dianggap sebagai alat komunikasi yang mengancam kekuasaan kolonial. Drum bicara digunakan oleh kepala suku lokal untuk menyebarkan pesan anti-kolonial, sehingga otoritas Prancis kala itu menganggap artefak tersebut sebagai simbol perlawanan. Sejak saat itu, drum Djidji Ayokwe disimpan di museum di Prancis sebagai koleksi etnografi.
Pemerintah Pantai Gading sudah sejak lama menuntut pengembalian artefak ini. Dalam beberapa tahun terakhir, permintaan tersebut semakin keras disuarakan, seiring meningkatnya tekanan publik Afrika terhadap negara-negara Eropa untuk mengembalikan benda-benda budaya yang dirampas pada masa penjajahan.
Kebijakan Restitusi dan Dampak Diplomatik
Pengembalian drum bicara Djidji Ayokwe adalah bagian dari kebijakan yang lebih luas dari Presiden Prancis Emmanuel Macron. Sejak pidatonya di Ouagadougou, Burkina Faso, pada 2017, Macron berjanji untuk memfasilitasi pengembalian benda-benda warisan budaya Afrika yang diambil selama masa kolonial. Langkah ini dimaksudkan untuk memperbaiki relasi diplomatik dan sejarah Prancis dengan negara-negara Afrika.
Sejumlah pengembalian sebelumnya juga telah dilakukan, seperti artefak ke Benin dan Senegal. Namun, prosesnya kerap terhambat birokrasi, diskusi hukum, dan ketidakjelasan kepemilikan benda-benda budaya. Pengembalian drum Djidji Ayokwe dianggap sebagai titik penting dalam kebijakan restitusi Prancis, karena drum tersebut memiliki makna politik, sosial, dan budaya yang sangat dalam bagi rakyat Pantai Gading.
Menteri Kebudayaan Prancis, Rachida Dati, menyebut keputusan ini sebagai upaya Prancis untuk menghadapi sejarahnya secara jujur. Ia berharap pengembalian drum bicara dapat membuka babak baru hubungan Prancis dan Afrika, yang lebih setara dan penuh rasa hormat.
Baca Juga : Prancis Batasi Medsos: Macron Usul Larangan Anak di Bawah 15 Tahun
Di sisi lain, pemerintah Pantai Gading menyambut baik langkah ini. Presiden Pantai Gading, Alassane Ouattara, menyebut pengembalian drum Djidji Ayokwe sebagai “kemenangan martabat dan identitas nasional,” serta berencana menempatkan artefak itu di museum nasional agar dapat diakses publik. Pemerintah Pantai Gading juga merencanakan upacara besar untuk menyambut kepulangan drum tersebut.
Pengembalian drum bicara Djidji Ayokwe bukan hanya soal benda budaya, melainkan simbol rekonsiliasi sejarah antara Prancis dan Pantai Gading. Artefak ini memiliki nilai historis dan budaya yang mendalam bagi masyarakat Pantai Gading, serta menjadi bukti bahwa warisan kolonial masih menyisakan luka yang kini perlahan berusaha diperbaiki lewat kebijakan restitusi. Langkah Prancis ini dipandang banyak pihak sebagai isyarat positif, meski jalan untuk mengembalikan ribuan artefak lain yang masih berada di Eropa masih panjang.
Ke depan, pengembalian artefak semacam ini diharapkan tak hanya menjadi peristiwa simbolis, tetapi juga menjadi langkah nyata dalam membangun keadilan sejarah. Banyak negara Afrika kini semakin vokal menuntut hak atas benda budaya mereka. Pengembalian artefak seperti Djidji Ayokwe membawa harapan bahwa generasi muda di Pantai Gading dapat kembali mengenal, merawat, dan bangga akan warisan leluhur mereka. Prancis sendiri ditantang untuk konsisten menjalankan kebijakan restitusi, bukan sekadar demi pencitraan diplomatik, melainkan sebagai wujud tanggung jawab moral dan sejarah.