
Penulis Prancis-Aljazair Boualem Sansal memutuskan untuk tidak mengajukan banding ke Pengadilan Kasasi Aljazair atas vonis penjara lima tahun yang dijatuhkan kepadanya pada 1 Juli 2025. Sansal, yang kini berusia 80 tahun, sebelumnya divonis bersalah karena dianggap melakukan tindakan yang “menggoyang persatuan nasional” lewat komentarnya mengenai perbatasan Aljazair yang menurutnya mencakup wilayah yang diambil dari Maroko selama periode kolonial Prancis.
Kasus ini bermula pada November 2024 ketika Sansal, yang terkenal lewat novel-novelnya yang kritis terhadap ekstremisme agama dan politik di Aljazair, memberikan wawancara kepada media Prancis. Dalam wawancara tersebut, ia menyatakan pandangan historis bahwa batas wilayah Aljazair modern adalah hasil keputusan kolonial, dan bahwa beberapa wilayah sebenarnya dulunya merupakan bagian dari Maroko. Komentar tersebut memicu kemarahan pihak berwenang Aljazair, yang langsung menuding Boualem Sansal telah melemahkan persatuan nasional.
Table of Contents
Vonis Berat dan Tuduhan Menggoyang Persatuan Nasional
Pada Maret 2025, pengadilan tingkat pertama menjatuhkan hukuman lima tahun penjara dan denda 500 ribu dinar Aljazair (sekitar US$ 3.700) kepada Boualem Sansal. Tuduhan yang digunakan adalah pasal yang kerap digunakan pemerintah Aljazair untuk membungkam kritik, yakni pasal terkait tindakan yang dianggap mengancam keamanan negara. Dalam tuntutannya, jaksa bahkan sempat menuntut hukuman lebih berat, yakni hingga sepuluh tahun penjara.
Vonis tersebut memicu kecaman luas, baik dari dalam negeri Prancis maupun komunitas internasional. Presiden Prancis Emmanuel Macron secara pribadi menyuarakan keprihatinan atas vonis Boualem Sansal, menyebut kasus ini sebagai pukulan keras bagi kebebasan berekspresi. Macron juga menekankan pentingnya kebebasan para intelektual untuk menyuarakan pandangan mereka, terutama sosok seperti Sansal yang dikenal sebagai suara penting dalam sastra berbahasa Prancis.
Sejumlah tokoh sastra dunia, termasuk peraih Nobel Sastra, ikut angkat suara mendukung Boualem Sansal. Mereka menilai hukuman penjara atas pandangan sejarah seorang penulis adalah tindakan yang tidak bisa diterima di masyarakat modern. Sebuah petisi online bahkan telah mengumpulkan puluhan ribu tanda tangan yang mendesak pembebasan Sansal dan penghentian semua dakwaan terhadapnya.
Harapan Grasi Presiden dan Diplomasi Prancis
Dengan keputusan Boualem Sansal untuk tidak melanjutkan banding, kini semua mata tertuju pada kemungkinan amnesti presiden. Sansal dan tim hukumnya berharap Presiden Aljazair Abdelmadjid Tebboune akan memberinya grasi, sebuah tradisi yang kerap dilakukan pemerintah Aljazair setiap peringatan Hari Kemerdekaan pada 5 Juli.
Menurut sumber dekat Sansal, alasan tidak mengajukan banding adalah keyakinan bahwa sistem peradilan di Aljazair tidak memberikan peluang keadilan yang nyata. Pengacaranya, Noëlle Lenoir, menyebut langkah banding “hanya akan memperpanjang penderitaan” mengingat tekanan politik yang melingkupi kasus ini. Sementara Boualem Sansal sendiri, meski telah divonis, belum dipenjara karena menunggu proses administratif dan kemungkinan grasi.
Pemerintah Prancis juga terus bergerak dalam upaya diplomatik. Kementerian Luar Negeri Prancis telah menyampaikan protes resmi kepada pemerintah Aljazair, mendesak pembebasan Sansal atas dasar kemanusiaan, mengingat usianya yang lanjut dan kondisi kesehatannya yang dianggap rentan. Prancis menyebut Sansal sebagai aset kebudayaan berharga yang seharusnya dilindungi, bukan dipenjarakan.
Namun, hubungan Prancis dan Aljazair sedang berada dalam posisi tegang. Aljazair sempat menarik duta besarnya dari Paris pada tahun sebelumnya setelah Prancis mendukung klaim Maroko atas Sahara Barat, isu sensitif yang menambah keretakan hubungan diplomatik kedua negara. Kasus Boualem Sansal menjadi tambahan beban diplomasi yang memperumit relasi kedua negara, terlebih karena narasi yang disampaikan Sansal menyentuh masalah perbatasan yang sangat politis.
Dampak Kasus Sansal bagi Kebebasan Berekspresi
Kasus Boualem Sansal dianggap sebagai ujian penting bagi kebebasan berekspresi di dunia berbahasa Prancis. Ia bukan hanya dikenal sebagai novelis, tetapi juga sebagai pemikir kritis yang berani mengulas isu-isu sensitif seperti radikalisme Islam, hubungan negara dan agama, serta warisan kolonial. Buku-bukunya, termasuk “2084: La Fin du Monde,” mendapat pujian luas karena berani mengkritik sistem totalitarian.
Jika Boualem Sansal benar-benar harus menjalani hukuman penjara, hal ini dikhawatirkan akan menjadi preseden buruk yang menakutkan bagi para intelektual lain di kawasan Maghreb. Banyak pengamat berpendapat bahwa Aljazair berusaha mengirim pesan tegas bahwa kritik historis, meskipun hanya berupa opini pribadi, bisa dianggap mengancam negara.
Sejauh ini, belum ada tanda pasti apakah Presiden Tebboune akan mengabulkan permohonan grasi. Namun, pengamat diplomasi menilai bahwa langkah pemberian grasi bisa menjadi jalan tengah yang menyelamatkan citra Aljazair di mata dunia, sekaligus meredakan ketegangan dengan Prancis. Keputusan Tebboune dalam beberapa hari ke depan akan menjadi penentu nasib Boualem Sansal sekaligus menjadi simbol sikap Aljazair terhadap kebebasan berpendapat.
Baca Juga : Prancis Desak Iran Ungkap Warga Hilang, Lennart Monterlos Dicurigai Ditahan
Kasus Boualem Sansal bukan sekadar masalah hukum individu, tetapi juga cerminan konflik geopolitik, kebebasan berpendapat, dan politik identitas di kawasan Maghreb. Penolakan Sansal untuk banding sekaligus menandai pilihannya untuk menunggu jalur diplomasi dan amnesti, sebuah langkah yang ia anggap lebih realistis di tengah kondisi sistem peradilan Aljazair yang dinilai sarat tekanan politik.
Kini publik internasional menunggu keputusan Presiden Tebboune. Apakah Sansal akan dibebaskan demi meredakan tensi diplomatik, atau harus menjalani hukuman penjara yang banyak pihak nilai tidak adil? Apapun keputusannya, nasib Boualem Sansal akan menjadi babak penting dalam hubungan Prancis–Aljazair, sekaligus menjadi sinyal penting mengenai masa depan kebebasan berekspresi di dunia yang terus diwarnai ketegangan politik dan identitas.