
Fenomena liburan tidak terjangkau kembali menjadi sorotan di Prancis. Berdasarkan laporan terbaru, sekitar 40% warga negara tersebut menyatakan tidak mampu pergi berlibur musim panas tahun ini karena kendala finansial. Meski angka ini terkesan stagnan sejak dekade 1990-an, faktanya menunjuk pada realitas yang memburuk: biaya hidup naik, sementara pendapatan sebagian besar masyarakat menengah ke bawah justru cenderung stagnan atau bahkan menurun secara riil.
Kesenjangan antara mereka yang bisa menikmati perjalanan ke luar kota atau luar negeri dengan mereka yang harus tetap tinggal di rumah semakin melebar. Bagi banyak keluarga, bahkan sekadar menginap dua malam di destinasi domestik kini menjadi beban finansial. Ini memperkuat gambaran bahwa liburan tidak terjangkau bukan lagi sekadar isu individual, melainkan persoalan sosial berskala nasional.
Kondisi ini diperparah oleh inflasi yang belum juga stabil pasca krisis global dan pandemi. Harga hotel, transportasi, serta konsumsi di lokasi wisata meningkat pesat. Tak heran jika mayoritas yang merasakan dampak langsung adalah keluarga dengan anak, lansia berpenghasilan tetap, dan kelompok rentan lainnya.
Table of Contents
Faktor Ekonomi Penghambat Akses liburan tidak terjangkau
Dalam laporan yang dirilis oleh Observatoire des Inégalités, peningkatan biaya liburan dari tahun ke tahun membuat liburan tidak terjangkau menjadi kenyataan bagi banyak kalangan. Harga tiket kereta jarak jauh naik rata-rata 23% dalam lima tahun terakhir, sementara tarif penginapan meningkat 35% secara nasional. Kenaikan harga tersebut tidak diimbangi oleh peningkatan gaji minimum atau bantuan sosial yang memadai.
Selain itu, kebijakan baru terkait pajak lingkungan turut menaikkan beban biaya transportasi udara. Pajak karbon dan biaya tambahan bahan bakar dikenakan pada hampir semua penerbangan domestik dan internasional dari Prancis. Akibatnya, bahkan tiket pesawat murah pun kini dianggap terlalu mahal bagi sebagian besar warga.
Banyak warga yang dulunya bisa berlibur kini harus puas dengan “staycation” atau liburan di rumah. Sebagian lainnya hanya bisa berlibur setelah menerima bantuan dari organisasi sosial, seperti Secours Populaire atau Fondation Abbé Pierre, yang kerap menggelar program liburan untuk keluarga prasejahtera. Namun daya tampung program ini sangat terbatas dibanding kebutuhan masyarakat luas.
Dampak Sosial dari Ketimpangan Akses Liburan
Ketika liburan tidak terjangkau menjadi kondisi tetap bagi sebagian besar warga, dampaknya bukan hanya pada sektor pariwisata, tetapi juga pada kesejahteraan mental dan kualitas hidup masyarakat. Liburan, terutama di musim panas, telah lama dianggap sebagai hak budaya warga Prancis. Ini bukan sekadar rekreasi, tetapi simbol kebebasan, kesetaraan, dan waktu berkualitas bersama keluarga.
Namun, ketidakmampuan menikmati waktu tersebut secara langsung menciptakan perasaan terpinggirkan, terutama pada anak-anak yang membandingkan pengalaman mereka dengan teman sebayanya di sekolah. Dalam jangka panjang, hal ini turut memperparah kesenjangan sosial dan menurunkan kepercayaan diri kelompok berpenghasilan rendah terhadap inklusi dalam masyarakat.
Upaya pemerintah sejauh ini belum sepenuhnya efektif. Meski program subsidi liburan masih berjalan, jumlah penerima manfaat masih sangat terbatas. Di sisi lain, pemerintah menghadapi tekanan fiskal dan kebijakan penghematan yang menyulitkan ekspansi program semacam itu.
Solusi jangka pendek yang mungkin dapat diterapkan mencakup kerja sama antara sektor swasta, komunitas lokal, dan pemerintah daerah untuk menciptakan paket wisata murah dengan skema cicilan, diskon kolektif, atau promosi terbatas. Penawaran seperti tiket kereta gratis bagi anak atau diskon penginapan komunitas bisa membantu menekan biaya dan membuka peluang bagi mereka yang selama ini terhalang.
Baca juga : Banana Artwork Dimakan Pengunjung, Museum Prancis Jadi Sorotan Dunia
Isu liburan tidak terjangkau bukan sekadar keluhan warga yang ingin berwisata. Ia mencerminkan kesenjangan sosial dan tekanan ekonomi yang semakin nyata. Jika tidak ditangani serius, ketimpangan akses liburan ini berpotensi menjadi simbol baru dari ketidaksetaraan yang merusak fondasi kohesi sosial masyarakat Prancis.
Diperlukan langkah sistemik dan kolaboratif agar semua lapisan masyarakat kembali memiliki peluang untuk merasakan hak dasar: beristirahat sejenak dari rutinitas, menikmati alam, dan mengisi kembali semangat hidup—tanpa harus merasa tertinggal hanya karena soal uang.