
AS menilai pengakuan negara Palestina oleh Prancis berisiko menguatkan Hamas dan mengganggu proses negosiasi damai di Timur Tengah. pengakuan negara Palestina oleh Prancis memicu respons keras dari Washington, dengan pejabat tinggi Amerika Serikat menilai langkah tersebut berpotensi menambah rumit dinamika keamanan dan diplomasi di Timur Tengah. Dalam keterangan yang disampaikan kepada media, mereka menegaskan bahwa timing kebijakan Paris bukan saja menekan ruang kompromi, tetapi juga memberi sinyal politik yang dapat dimanfaatkan kelompok bersenjata untuk memperkuat narasi kemenangan.
Pandangan ini lahir dari kekhawatiran bahwa pemberian legitimasi de jure terhadap status kenegaraan Palestina tanpa kesepakatan langsung dengan Israel akan mereduksi insentif negosiasi dan menebalkan opsi konfrontasi di lapangan. Sebagai sekutu tradisional Eropa, AS memahami motif normatif yang diusung Paris, tetapi tetap menilai bahwa jalur implementasinya harus bertumpu pada proses yang kredibel, terukur, dan berbasis konsensus di antara pihak-pihak yang bertikai.
Dengan kata lain, dukungan terhadap tujuan akhir dua negara tidak otomatis berarti dukungan pada setiap langkah taktis yang diambil secara unilateral—apalagi ketika eskalasi militer dan krisis kemanusiaan masih berlangsung. Dalam konteks ini, Washington mendorong agar kanal diplomasi tetap menjadi sumbu utama, sementara langkah-langkah simbolik seperti pengakuan negara Palestina dikhawatirkan justru menggeser fokus dari perundingan konkret ke arena perang opini.
Table of Contents
Respons Washington, Argumen Utama, dan Kekhawatiran Lapangan
Di sisi politik, pemerintahan AS menekankan tiga argumen utama. Pertama, legitimasi formal yang diberikan oleh Prancis diperkirakan akan dibaca secara oportunistik oleh aktor bersenjata sebagai pembenaran moral untuk mempertahankan sikap keras, karena mereka bisa mengklaim bahwa tekanan internasional telah berpihak pada mereka tanpa konsesi di meja perundingan. Kedua, langkah unilateral ini berpotensi mematahkan momentum diplomasi shuttle yang berupaya menyarikan formula gencatan senjata berkelanjutan, mekanisme penukaran sandera, dan pengaturan akses bantuan kemanusiaan. Ketiga, dari kacamata hukum internasional dan keamanan, pengakuan de jure yang tidak ditopang arsitektur governance di lapangan berisiko menambah kompleksitas koordinasi administratif, termasuk urusan pengelolaan perbatasan, penegakan hukum, serta rekonstruksi infrastruktur vital.
Di tingkat lapangan, otoritas keamanan AS melihat perubahan psikologis sebagai faktor krusial. Ketika negara besar Eropa memberikan pengakuan negara Palestina, terdapat potensi efek demonstration: aktor lain bisa mengikuti, sehingga mengubah kalkulus risiko dan imbalan (risk–reward) di antara pihak yang bertikai. Efek ini tidak serta merta negatif apabila diikuti paket desain implementasi—misalnya road map yang disepakati, jaminan keamanan lintas batas, dan pengaturan pengelolaan wilayah yang legitimate.
Namun, ketiadaan kerangka tersebut membuat kebijakan Paris rawan disalahartikan, memperbesar jurang persepsi, dan memperkecil ruang manuver mediator. Dalam kalkulus Washington, diplomasi efektif membutuhkan keterkaitan erat antara simbol, proses, dan output kebijakan: simbol tanpa proses dapat merusak output; proses tanpa simbol kadang kehilangan daya dorong publik. Itulah sebabnya AS mendorong agar setiap langkah menuju solusi dua negara dilakukan simultan dengan rancangan institusional yang konkret dan terukur—alih-alih memulai dari ujung simbolik seperti pengakuan negara Palestina yang berdiri sendiri.
Implikasi bagi Negosiasi, Mitra Eropa, dan Stabilitas Regional
Dari sudut negosiasi, pertanyaan kuncinya adalah bagaimana menjaga keberlanjutan dialog ketika trust deficit masih tinggi. Pengalaman proses perdamaian sebelumnya menunjukkan bahwa “peta jalan” yang berhasil selalu mengombinasikan insentif politik, jaminan keamanan, dan mekanisme verifikasi. Jika salah satu unsur hilang, risiko kebuntuan meningkat. Karena itu, Washington mengajak Paris dan mitra Eropa untuk menyelaraskan langkah simbolik dengan instrumen teknis: pengaturan akses bantuan yang tahan gangguan, koridor evakuasi medis, pengawasan lintas-batas bersama, serta perangkat ekonomi yang mengurangi ketergantungan pada aktor-aktor kekerasan. Sinkronisasi ini penting agar pengakuan negara Palestina tidak berhenti sebagai headline, tetapi berubah menjadi tuas kebijakan yang mendorong perilaku kooperatif di kedua sisi.
Hubungan transatlantik juga menjadi variabel yang tidak bisa diabaikan. Eropa dan AS memiliki tujuan yang sama—stabilitas kawasan dan solusi dua negara—namun perbedaan urutan taktis sering muncul. Washington cenderung menekankan “security first” dan verifikasi, sementara beberapa ibu kota Eropa lebih menonjolkan “political horizon” dan penguatan otonomi politik Palestina. Perbedaan urutan bukan berarti perbedaan tujuan. Tantangannya adalah menciptakan matriks kebijakan yang kompatibel, agar sinyal ke pihak bertikai tidak saling menegasikan. Komplementaritas kebijakan—seperti penyelarasan paket bantuan, sanksi bertarget terhadap pelanggar, serta dukungan untuk institusi sipil yang kredibel—dapat mengubah pengakuan negara Palestina menjadi satu komponen dari keseluruhan orkestrasi diplomasi, bukan variabel bebas yang menimbulkan disonansi.
Baca juga : Polisi Prancis Selidiki Ancaman Kematian Macron
Di tingkat regional, stabilitas Timur Tengah bergantung pada siklus aksi-reaksi yang sering kali dipicu peristiwa simbolik. Pengumuman Paris telah mengangkat ekspektasi di sebagian kalangan, namun juga menyalakan alarm di pihak lain. Negara-negara sekitar—Mesir, Yordania, dan Qatar—yang kerap berperan sebagai mediator, menginginkan agar momentum politik tidak mengacaukan agenda praktis seperti gencatan senjata, distribusi bantuan, dan pembukaan kembali layanan dasar. Pada saat bersamaan, Israel menilai bahwa pengakuan semacam itu tidak memperhatikan dimensi keamanan yang mereka hadapi setiap hari. Menyatukan kepentingan-kepentingan ini menuntut arsitektur kebijakan yang konsisten, di mana setiap langkah simbolik—termasuk pengakuan negara Palestina—diikat oleh parameter implementasi yang jelas, target waktu, dan mekanisme penilaian berkala.