
PM François Bayrou gagal dapat dukungan di parlemen, krisis politik Prancis makin dalam jelang pemungutan suara kepercayaan pada 8 September 2025. Perdana Menteri François Bayrou menghadapi tekanan besar menjelang pemungutan suara kepercayaan pada 8 September 2025. Pertemuan terakhirnya dengan partai sayap kanan National Rally (RN) yang dipimpin Marine Le Pen berakhir buntu. Tidak ada kompromi atau dukungan yang bisa menyelamatkan pemerintahan minoritasnya. Situasi ini menegaskan bahwa krisis politik Prancis kini mencapai puncaknya, dengan ancaman jatuhnya kabinet hanya menunggu waktu.
Dalam pertemuan yang digelar di Paris, Bayrou mencoba meyakinkan RN untuk mendukung rencana anggaran yang dianggap penting bagi stabilitas fiskal negara. Namun, RN bersikeras menolak paket penghematan €44 miliar yang mencakup pengurangan hari libur nasional. Keputusan itu memperlihatkan jurang politik semakin lebar. Oposisi dari kiri dan kanan sama-sama bersatu dalam menentang pemerintahan.
Presiden Emmanuel Macron pun berada dalam posisi sulit. Ia harus memutuskan apakah akan mempertahankan Bayrou sebagai perdana menteri sementara, menunjuk pengganti, atau membubarkan parlemen untuk menggelar pemilu dini. Semua opsi penuh risiko, karena krisis politik Prancis telah mengguncang pasar finansial dan menurunkan kepercayaan publik pada stabilitas pemerintah.
Table of Contents
Anggaran Kontroversial Picu Penolakan
Rencana penghematan yang diajukan Bayrou bertujuan mengurangi defisit fiskal negara yang kian melebar. Pemerintah menilai pemangkasan €44 miliar menjadi keharusan demi menjaga peringkat kredit dan menekan beban utang. Namun, strategi ini memantik protes luas, baik di jalanan maupun parlemen. Para pekerja menilai penghapusan hari libur nasional merugikan hak rakyat, sementara kelompok oposisi menganggap kebijakan itu tidak adil dan tidak menyentuh akar masalah ekonomi.
Partai sayap kanan RN secara terbuka menolak mendukung rencana tersebut. Marine Le Pen menyatakan bahwa rakyat tidak boleh dikorbankan demi menjaga angka-angka fiskal semata. Ia menuduh Bayrou lebih mementingkan kepentingan pasar keuangan daripada kesejahteraan masyarakat. Dari sisi kiri, partai-partai progresif juga menilai kebijakan penghematan terlalu berat bagi kelas pekerja. Penolakan lintas partai ini semakin mempertegas bahwa krisis politik Prancis sudah melampaui sekadar perbedaan ideologi, melainkan cerminan hilangnya kepercayaan pada kepemimpinan Bayrou.
Dampak langsung dari kebuntuan ini terasa di pasar. Yield obligasi pemerintah naik tajam, menandakan investor khawatir terhadap risiko gagal bayar. Ketidakpastian politik membuat mata uang euro melemah, memperburuk persepsi global terhadap ekonomi Prancis. Situasi inilah yang membuat krisis semakin rumit, karena politik dan ekonomi kini saling terkait erat. Jika tidak segera ada jalan keluar, krisis politik Prancis berpotensi memicu resesi yang lebih dalam.
Jalan Buntu Negosiasi dan Tekanan Diplomatik
Negosiasi antara pemerintah dan oposisi tidak menghasilkan kesepakatan berarti. Bayrou berharap kompromi bisa dicapai lewat konsesi tambahan dalam anggaran, namun RN tetap bersikukuh. Marine Le Pen bahkan mendesak agar parlemen dibubarkan, membuka jalan untuk pemilu baru yang berpotensi memperkuat posisi partainya. Bagi RN, momentum ini adalah kesempatan emas untuk mengukuhkan diri sebagai alternatif kekuasaan.
Di sisi lain, tekanan juga datang dari luar negeri. Uni Eropa memantau perkembangan di Paris dengan cermat, mengingat stabilitas politik Prancis penting bagi integrasi Eropa. Beberapa pemimpin Eropa mendesak agar krisis segera diselesaikan tanpa mengguncang lebih jauh pasar keuangan. Namun, upaya diplomasi hanya bisa sebatas imbauan. Keputusan tetap berada di tangan Presiden Macron yang harus memilih opsi paling realistis di tengah keterbatasan politik.
Situasi semakin pelik karena tanggal 8 September semakin dekat. Jika Bayrou kalah dalam pemungutan suara kepercayaan, pemerintahan akan jatuh secara resmi. Opsi penunjukan perdana menteri baru bisa memunculkan figur kompromi, tetapi sulit menemukan sosok yang diterima semua pihak. Sementara itu, pilihan membubarkan parlemen untuk pemilu dini juga berisiko tinggi. Pemilu baru mungkin justru memperbesar kekuatan RN, memperparah krisis politik Prancis yang sudah ada.
Jika pemerintah Bayrou jatuh, Presiden Macron akan menghadapi pilihan sulit. Menunjuk perdana menteri baru hanya memberi solusi jangka pendek jika parlemen tetap terpecah. Membubarkan parlemen dan menggelar pemilu dini berpotensi memperpanjang ketidakstabilan, karena hasilnya belum tentu menghasilkan mayoritas stabil. Dalam skenario terburuk, Prancis bisa menghadapi periode pemerintahan lemah yang berlarut-larut, di mana kebijakan besar sulit dijalankan.
Bagi masyarakat, krisis politik Prancis sudah terasa dampaknya. Program-program publik tertunda, kebijakan fiskal tidak jelas, dan suasana ketidakpastian menyelimuti kehidupan sehari-hari. Demonstrasi terus berlangsung di berbagai kota, memperlihatkan keresahan rakyat terhadap ketidakmampuan elite politik menyelesaikan persoalan.
Baca juga : PM Bayrou Kehilangan Dukungan, Prancis Hadapi Krisis Politik
Dari perspektif internasional, krisis ini juga memperlemah posisi Prancis sebagai salah satu pilar utama Uni Eropa. Negara-negara mitra mempertanyakan kemampuan Paris untuk menjadi pemimpin regional ketika masalah domestik begitu serius. Investor asing pun menahan diri, menunggu kepastian arah politik. Jika krisis berlarut, peluang investasi bisa beralih ke negara-negara lain di kawasan.
Namun, di balik krisis, ada peluang untuk pembaruan politik. Pemilu dini bisa membuka ruang bagi wajah baru politik yang lebih segar dan lebih representatif. Meski berisiko, beberapa kalangan menilai ini mungkin satu-satunya jalan keluar. Dengan cara itu, krisis politik Prancis bisa berubah menjadi