
Sejak Digital Services Act (DSA) berlaku penuh untuk semua layanan pada awal 2024, Eropa—termasuk Prancis—memiliki “rulebook” baru untuk menata platform digital. Target besarnya jelas: menekan penyebaran konten ilegal dan berbahaya, dari penipuan hingga ujaran kebencian. Salah satu ujian paling sensitif adalah islamofobia online di Prancis—isu yang kerap meledak di media sosial, lalu merembet ke ranah offline. Pertanyaannya, apakah DSA benar-benar membuat ruang digital lebih aman pada 2025?
Mengapa islamofobia online di Prancis butuh pendekatan khusus?
Prancis adalah rumah bagi komunitas Muslim terbesar di UE. Setiap memanasnya isu global—konflik Timur Tengah, serangan teror, atau kasus kriminal yang dibingkai identitas—linimasa kerap dipenuhi generalisasi, stereotip, hingga seruan kebencian. Pola yang berulang: narasi ekstrem menyebar cepat, algoritme mendorong amplifikasi, dan sebagian konten kemudian “bocor” ke kehidupan nyata dalam bentuk intimidasi atau vandalisme. Artinya, regulasi yang hanya berfokus pada penghapusan konten tanpa mekanisme penilaian risiko dan akuntabilitas platform akan selalu tertinggal.
Di sinilah DSA berbeda. Ia tidak sekadar menyuruh “hapus cepat”, tetapi mewajibkan platform menilai risiko sistemik, membuka data kepada peneliti, menyediakan kanal pelaporan yang dapat dilacak, serta menerapkan mitigasi yang terukur—termasuk audit independen untuk platform sangat besar.
Apa inti DSA yang paling relevan untuk islamofobia online Prancis?
- Risk assessment & mitigasi berkala untuk platform sangat besar (VLOP/VLOSE). Mereka harus mengukur bagaimana rekomendasi, iklan, dan desain produk berkontribusi pada penyebaran kebencian—lalu memperbaikinya.
- Notice & action yang transparan. Pengguna—dan trusted flaggers—dapat melaporkan konten ilegal; platform wajib memberi nomor tiket, status, dan alasan keputusan.
- Akses data bagi peneliti yang memenuhi syarat. Tujuannya agar klaim “kami sudah mengurangi hate speech” bisa diuji, bukan sekadar janji PR.
- Audit tahunan independen untuk VLOP/VLOSE tentang kepatuhan dan dampak mitigasi.
- Sanksi finansial hingga 6% dari global turnover bila mangkir atau menyesatkan regulator.
Kombinasi ini menggeser fokus dari penghapusan reaktif menjadi pencegahan proaktif—misalnya, menyesuaikan ranking/rekomendasi konten, memperketat deteksi pola serangan terkoordinasi, dan mencegah monetisasi dari konten kebencian.
Konteks nasional: setelah “Avia Law”, DSA jadi jangkar yang lebih seimbang
Pada 2020, Prancis sempat mencoba Avia Law—model “hapus ≤24 jam” untuk konten kebencian. Banyak pasal kemudian dibatalkan Mahkamah Konstitusi karena dikhawatirkan mendorong over-removal (platform menghapus berlebihan agar aman dari denda) dan menekan kebebasan berekspresi. Pelajarannya: due process dan proporsionalitas itu penting.
DSA mengambil jalan tengah: kecepatan tetap dihargai, tetapi prosedur, transparansi, dan akuntabilitas tidak boleh dikorbankan. Hasilnya, otoritas Prancis kini dapat bertumpu pada kerangka UE yang seragam sambil memakai hukum pidana nasional untuk penegakan perkara yang memang melampaui batas legal.
islamofobia online prancis dsa: bagaimana mekanismenya berjalan sehari-hari?
- Trusted flaggers (LSM, otoritas, lembaga pakar) mendapat prioritas antrian pelaporan. Ini penting untuk isu sensitif seperti islamofobia yang sering muncul dalam gelombang serangan terkoordinasi.
- Transparansi keputusan. Saat laporan ditolak, pelapor bisa melihat alasan penolakan dan menggunakan jalur banding—baik ke platform atau ke koordinator DSA nasional.
- Kewajiban risk mitigation. Platform tak bisa sekadar berkata “kami menghapus cepat”. Mereka harus menunjukkan upaya mengurangi penyebaran: downranking konten yang melanggar, membatasi rekomendasi akun pelanggar berulang, atau mematikan monetisasi dari konten kebencian.
- Audit & data-sharing. Peneliti dapat mengecek apakah, misalnya, selama puncak tensi geopolitik, proporsi konten islamofobia turun di beranda—atau hanya berpindah format (misal, meme/komentar tertutup).
Code of Conduct+ 2025: pelengkap DSA yang mempercepat respons
Pada 2025, raksasa platform memperbarui komitmen di Code of Conduct+: meninjau sebagian besar laporan dalam 24 jam, menguatkan kerja sama trusted flaggers, dan memperluas transparency reporting. Memang bersifat sukarela, tetapi ia menempel pada ekosistem DSA—membuat standar perilaku industri semakin seragam. Bagi konteks islamofobia online di Prancis, ini berarti eskalasi yang lebih cepat ketika terjadi gelombang ujaran kebencian (misal, pasca kejadian offline yang viral).
Bukti kemajuan: sinyal penegakan dan perubahan perilaku platform
Dalam setahun terakhir, Komisi Eropa beberapa kali meminta klarifikasi bahkan membuka penyelidikan pada platform besar ketika indikator risiko—termasuk hate speech—naik. Di saat bersamaan, sebagian platform menambahkan: label konteks, friction sebelum berbagi ulang (misal peringatan), atau membatasi rekomendasi akun pelanggar berulang. Dampaknya tidak selalu dramatis, tetapi indikator “kecepatan penanganan laporan” dan “penurunan jangkauan konten yang melanggar” menunjukkan tren membaik dibanding era pra-DSA.
Di Prancis sendiri, komunitas sipil melaporkan jalur pelaporan yang lebih dapat dilacak. Artinya, ketika masjid, pengurus takmir, atau LSM melaporkan thread islamofobia, mereka mendapat nomor tiket, status, dan—yang penting—alasan. Ini membuat advokasi lebih evidence-based karena keputusan platform bisa diaudit dan dibandingkan antarperiode.
Baca Juga:
Serangan Masjid Prancis 2025: Cermin Gelap Islamofobia Yang Kian Membara
Celah yang masih perlu dibenahi
- Sukarela vs wajib. Beberapa komitmen percepatan respons masih berbasis kesukarelaan. Jika ada platform yang walk-out, standar bisa kembali cair. Di sini, data audit DSA menjadi penyangga agar tren industri tidak mundur.
- Keterbatasan pendeteksian otomatis. Sistem machine-learning kerap kesulitan membaca sarkasme, dog whistle, atau meme berbahasa campuran. Untuk konteks Prancis—dengan varian slang dan kode budaya—investasi pada moderasi berbahasa Prancis harus terus didorong.
- Risiko over-removal. Di momen panas, platform cenderung “main aman”. Penghapusan berlebih mengundang masalah kepercayaan. DSA mengatasi ini lewat explainability dan banding, tetapi praktik lapangan harus dipantau ketat.
- Transparansi yang belum seragam. Tidak semua platform memberi granularitas data yang sama; beberapa hanya mempublikasikan angka global tanpa breakdown per negara atau jenis kebencian. Tanpa detail, sulit menilai dampak spesifik pada islamofobia online Prancis.
Apa yang bisa dilakukan komunitas Muslim dan pengelola masjid?
- Bangun protokol pelaporan internal. Tetapkan peran (siapa capturing evidence, siapa melapor), template bukti (tangkapan layar lengkap, URL, waktu, konteks), dan daftar akun/hashtag penggiat kebencian yang perlu dipantau.
- Gunakan jalur trusted flagger. Carilah LSM/organisasi yang diakui di Prancis/UE agar laporan diprioritaskan dan memiliki follow-up yang jelas.
- Koneksikan online–offline. Saat terjadi insiden vandalisme/intimidasi, dokumenkan dan laporkan ke kepolisian, lalu sinkronkan dengan laporan platform. Pola lintas kanal inilah yang sering menjadi bukti penting di pengadilan.
- Kontra-narasi yang aman. Hindari quote-tweet konten kebencian (yang justru menambah impresi). Buat thread edukasi, myth-busting, dan tautkan sumber kredibel; dorong jurnalis lokal untuk mengutip data, bukan emosi.
Apa indikator bahwa DSA bekerja terhadap islamofobia online di Prancis?
- Waktu respons laporan makin singkat dan konsisten lintas platform.
- Penurunan jangkauan konten pelanggar (bukan hanya jumlah penghapusan).
- Lebih sedikit repeat offenders yang muncul di rekomendasi beranda.
- Peningkatan transparansi: laporan berkala yang memuat metrik per negara/jenis kebencian, akses peneliti yang benar-benar dimanfaatkan.
- Audit independen yang menyatakan mitigasi risiko berdampak signifikan—misal, downranking mengurangi visibilitas kampanye kebencian terkoordinasi.
Jika lima indikator ini bergerak ke arah yang benar, kita bisa mengatakan DSA mulai “menggigit”.
Kesimpulan: sudah di jalur benar, tapi konsistensi adalah kuncinya
DSA memberi perangkat paling komprehensif sejauh ini untuk mengurangi islamofobia online di Prancis—dari kewajiban menilai risiko hingga audit independen. Dalam praktik, kita sudah melihat peningkatan kecepatan respons, jalur pelaporan yang lebih jelas, dan dorongan kuat kepada platform untuk bertanggung jawab atas desain algoritme mereka. Namun pekerjaan belum selesai: deteksi otomatis perlu lebih cerdas, transparansi harus lebih rinci, dan koordinasi dengan penegakan hukum di dunia nyata perlu diperkuat. Dengan data, audit, dan partisipasi komunitas yang konsisten, peluang menurunkan kebencian anti-Muslim secara nyata kian besar.