
Laporan tahunan pertahanan menyingkap fakta mengejutkan: ekspor senjata Prancis ke Israel pada 2024 mencatat nilai pesanan tertinggi sejak 2017, mencapai lebih dari €27 juta. Angka ini disebut sebagai rekor baru dalam hubungan perdagangan pertahanan kedua negara, meski pemerintah Prancis menegaskan kepatuhan penuh pada perjanjian internasional dan aturan kontrol ekspor. Klaim itu segera menimbulkan perdebatan di ruang publik, mengingat situasi konflik di Timur Tengah yang masih berlangsung.
Sumber-sumber resmi menyebut perbedaan antara pesanan (orders) dan pengiriman (deliveries) perlu dipahami agar data tidak disalahartikan. Namun, fakta bahwa Israel kembali menjadi salah satu tujuan ekspor utama memperkuat sorotan terhadap arah kebijakan luar negeri Paris. Aktivis HAM, serikat buruh pelabuhan, hingga partai oposisi menyerukan investigasi transparan agar ekspor senjata Prancis tidak melanggar norma kemanusiaan. Kasus ini bukan kali pertama memicu polemik: pada 2025 buruh di pelabuhan Marseille-Fos bahkan menolak memuat kontainer berisi komponen senjata yang ditujukan ke Israel.
Table of Contents
Angka Rekor & Konteks Politik
Mediapart, media investigasi Prancis, melaporkan bahwa nilai pesanan Israel atas persenjataan Prancis pada 2024 mencapai €27,1 juta. Angka ini tertinggi dalam delapan tahun terakhir, melebihi tren sejak 2017. Bagi pemerintah Prancis, ekspor senjata Prancis ini dilaporkan sebagai bagian dari kontrak legal dengan mekanisme izin ketat. Menteri Pertahanan sempat menegaskan bahwa tidak ada pengiriman yang digunakan langsung untuk operasi militer di Gaza, menolak tuduhan bahwa Paris melanggar komitmen internasional.
Konteks politik di dalam negeri semakin kompleks. Sebagian anggota parlemen mempertanyakan relevansi kontrak tersebut dengan prinsip kebijakan luar negeri Prancis yang selalu menekankan HAM. Publik menyoroti transparansi laporan tahunan yang kerap sulit diakses. Dalam wacana internasional, ekspor senjata Prancis dilihat sebagai sinyal ambigu: di satu sisi, Paris vokal menyerukan gencatan senjata; di sisi lain, hubungan dagang persenjataan tetap berjalan. Polemik inilah yang mendorong pengamat menilai perlunya reformasi laporan ekspor agar publik bisa membedakan antara izin, pengiriman aktual, dan pengguna akhir.
Kontroversi, Protes Buruh, dan Tuntutan Transparansi
Di lapangan, ekspor senjata Prancis bukan hanya isu diplomatik, tetapi juga memantik aksi nyata. Pada pertengahan 2025, serikat buruh CGT di Marseille-Fos menolak memuat kontainer berisi komponen senapan mesin tujuan Israel. Mereka mengklaim tidak ingin menjadi bagian dari rantai logistik yang berpotensi memperparah konflik. Aksi buruh ini mendapat dukungan dari kelompok solidaritas Palestina, sekaligus menekan pemerintah agar lebih terbuka terkait daftar barang yang diekspor.
Investigasi jurnalis independen juga mengungkap sejumlah kontrak aksesori militer, dari komponen elektronik hingga peralatan mekanis. Walau pemerintah bersikeras semua sesuai aturan, masyarakat sipil tetap mendesak publikasi data yang lebih detail. Tuntutan ini menekankan perlunya mekanisme kontrol sipil dalam kebijakan ekspor alutsista. Jika tidak, reputasi Prancis sebagai negara yang menempatkan HAM di garda depan bisa terkikis. Dengan meningkatnya perhatian global, ekspor senjata Prancis ke Israel kini jadi isu politik domestik sekaligus diplomatik yang sensitif.
Secara internasional, isu ini memperlihatkan dilema besar bagi Paris. Di satu sisi, Prancis merupakan salah satu eksportir senjata terbesar dunia dengan target menjaga industri pertahanan domestik tetap kompetitif. Di sisi lain, sorotan terhadap ekspor senjata Prancis ke Israel bisa melemahkan posisi Paris dalam diplomasi perdamaian. Negara-negara Eropa lainnya, seperti Spanyol dan Irlandia, telah mengambil sikap tegas dengan menghentikan sebagian ekspor militer ke kawasan konflik. Tekanan agar Prancis mengikuti langkah serupa semakin kuat.
Baca juga : Insiden anak Israel ditolak taman rekreasi di Prancis picu kehebohan
Bagi industri, kontrak dengan Israel bernilai strategis karena membuka akses ke pasar teknologi pertahanan dan penelitian bersama. Namun, biaya politiknya besar: opini publik domestik kian kritis, dan kelompok masyarakat sipil memperingatkan risiko hukum internasional jika senjata dipakai dalam pelanggaran HAM. Pemerintah kemungkinan merumuskan kompromi—meneruskan sebagian kontrak yang sifatnya aksesori atau non-let lethal, sembari membatasi izin pada kategori senjata ofensif.
Ke depan, ada peluang untuk memperkuat mekanisme verifikasi pengguna akhir (end-user verification) dan audit independen. Dengan begitu, ekspor senjata Prancis bisa berjalan sesuai hukum tanpa menimbulkan kontroversi berulang. Selain itu, reformasi laporan publik tahunan, termasuk pemisahan jelas antara pesanan, pengiriman, dan nilai aktual, akan meningkatkan transparansi. Jika langkah ini diambil, Prancis dapat menjaga keseimbangan: tetap mempertahankan daya saing industri pertahanan, namun sekaligus melindungi reputasi sebagai negara yang menempatkan hak asasi dan perdamaian sebagai pilar utama kebijakan luar negeri.