
Pendahuluan: Ketika Toleransi Mulai Retak di Negeri Demokrasi
Prancis dikenal sebagai negara dengan semboyan “Liberté, Égalité, Fraternité” (Kebebasan, Kesetaraan, dan Persaudaraan). Namun, belakangan ini, semboyan itu seolah terkikis oleh gelombang intoleransi yang kian mencuat. Berbagai laporan menunjukkan peningkatan kasus rasisme, xenofobia, dan antiagama, terutama terhadap komunitas Muslim dan Yahudi. Fenomena ini bukan sekadar insiden satu-dua, tetapi mencerminkan krisis sosial yang lebih dalam.
Artikel ini akan membahas faktor meningkatnya intoleransi di Prancis, mulai dari aspek politik yang terpolarisasi, ketimpangan sosial-ekonomi, pengaruh media, hingga pergesekan antara sekularisme dan ekspresi keagamaan.
Table of Contents
1. Polarisasi Politik dan Munculnya Sayap Kanan Ekstrem
Salah satu pemicu utama meningkatnya intoleransi adalah polarisasi politik yang makin tajam. Partai sayap kanan seperti Rassemblement National yang dipimpin oleh Marine Le Pen semakin mendapatkan dukungan luas, terutama menjelang pemilu 2027. Narasi-narasi mereka sering kali mengasosiasikan imigran dan komunitas Muslim sebagai ancaman bagi identitas nasional.
Retorika yang mengedepankan keamanan, anti-imigran, dan proteksionisme budaya memperkuat prasangka terhadap kelompok minoritas. Masyarakat pun perlahan terseret dalam wacana “kami versus mereka”, yang melanggengkan diskriminasi dalam bentuk yang lebih sistematis.
2. Krisis Ekonomi dan Munculnya Kambing Hitam Sosial
Ketika ekonomi melemah, kelompok rentan sering kali menjadi sasaran kemarahan kolektif. Di Prancis, inflasi, pengangguran, dan tekanan biaya hidup setelah pandemi COVID-19 menciptakan keresahan sosial yang besar. Dalam situasi ini, imigran dan minoritas dijadikan kambing hitam.
Beberapa media dan tokoh politik menuding kelompok tertentu sebagai penyebab turunnya kesejahteraan nasional. Narasi ini menciptakan sentimen negatif yang berujung pada sikap intoleran dan diskriminatif. Krisis bukan hanya masalah ekonomi, tapi menjadi krisis empati dan kemanusiaan.
3. Sekularisme yang Kontraproduktif: Laïcité dalam Sorotan
Prancis menganut prinsip laïcité—sebuah sekularisme yang ketat. Dalam praktiknya, laïcité melarang simbol-simbol keagamaan di ruang publik, termasuk sekolah dan kantor pemerintah. Namun, prinsip ini sering ditafsirkan secara sempit dan digunakan untuk membatasi ekspresi keagamaan komunitas tertentu, terutama umat Muslim.
Larangan penggunaan jilbab, penolakan terhadap burkini di pantai, hingga kebijakan menyasar masjid dianggap sebagai bentuk diskriminasi terselubung. Alih-alih menciptakan ruang netral, laïcité justru memperuncing perasaan terasing dari negara.
4. Peran Media dan Penyebaran Ujaran Kebencian
Media memainkan peran besar dalam membentuk opini publik. Sayangnya, sebagian media Prancis kerap membingkai berita seputar imigran, kejahatan, dan terorisme dengan nada yang menyudutkan. Framing negatif ini memperkuat stereotip bahwa kelompok tertentu cenderung bermasalah dan tidak bisa berintegrasi.
Tak hanya media arus utama, platform digital juga menjadi ladang subur bagi ujaran kebencian. Grup sayap kanan aktif menyebarkan narasi xenofobia dan antiagama di media sosial tanpa banyak moderasi. Efeknya, intoleransi yang tadinya bersifat laten kini menjadi terang-terangan.
5. Ketimpangan Sosial dan Eksklusi Komunitas Minoritas
Ketimpangan dalam akses pendidikan, pekerjaan, dan perumahan juga turut memicu sentimen intoleran. Banyak komunitas imigran dan minoritas yang tinggal di pinggiran kota (banlieue) dengan fasilitas publik yang minim dan pengangguran tinggi.
Kondisi ini melahirkan stigma sosial. Masyarakat mayoritas sering kali melihat kelompok minoritas sebagai “tidak mampu menyesuaikan diri” atau “beban sosial”, padahal mereka justru korban dari sistem yang tidak inklusif. Ketika sistem menciptakan jarak, maka empati pun ikut terkikis.
6. Trauma Kolektif dan Ketegangan Keamanan
Serangkaian serangan terorisme yang terjadi di Prancis selama dekade terakhir, seperti penyerangan Charlie Hebdo dan Bataclan, masih menyisakan trauma kolektif. Ketegangan keamanan yang tinggi ini sering kali diarahkan kepada komunitas Muslim secara umum, meskipun hanya sebagian kecil yang terlibat.
Stigmatisasi akibat trauma ini menciptakan sikap waspada yang berlebihan dan diskriminatif. Hal ini juga berkontribusi pada meningkatnya pengawasan terhadap komunitas Muslim dan pengurangan ruang kebebasan beragama.
7. Kurangnya Representasi dan Dialog Antarbudaya
Ketidakhadiran perwakilan dari komunitas minoritas dalam parlemen, media, dan institusi publik memperparah masalah intoleransi. Ketika suara mereka tak terdengar, maka pemahaman terhadap realitas yang mereka hadapi juga terbatas.
Minimnya dialog antarbudaya dan edukasi publik membuat prasangka berkembang liar. Upaya integrasi pun menjadi setengah hati jika tidak ada keterlibatan aktif dari semua pihak, baik mayoritas maupun minoritas.
Penutup: Menuju Prancis yang Lebih Inklusif dan Toleran
Faktor meningkatnya intoleransi di Prancis bukanlah fenomena tunggal, melainkan hasil interaksi kompleks antara politik, ekonomi, budaya, dan media. Namun, ini bukan berarti tak ada harapan.
Pemerintah, media, dan masyarakat sipil memiliki tanggung jawab kolektif untuk menumbuhkan kembali nilai-nilai toleransi. Dibutuhkan kebijakan inklusif, pendidikan anti-diskriminasi, serta dialog lintas budaya yang terbuka dan jujur.
Prancis bisa kembali menjadi teladan toleransi dunia—asal berani menghadapi realita dan membuka ruang bagi semua warga, tanpa kecuali.
Jadwal Hidup Sehat: Bangun Rutinitas Sehat Lewat Challenge Hidup Sehat 7 Hari