
Pemerintah Indonesia secara resmi menyatakan penghormatan terhadap putusan parole Serge Atlaoui yang dikeluarkan oleh otoritas Prancis pada pertengahan 2025. Pria berkewarganegaraan Prancis tersebut sebelumnya telah menjalani hukuman penjara lebih dari dua dekade di Indonesia setelah divonis mati atas keterlibatannya dalam jaringan produksi narkoba di Tangerang pada tahun 2005.
Serge Atlaoui menjadi perhatian internasional karena kasusnya yang panjang dan penuh dinamika hukum. Setelah upaya hukum dan diplomasi intensif dari pemerintah Prancis, hukuman mati yang sempat dijatuhkan terhadapnya akhirnya diringankan. Pada tahun 2023, ia dipindahkan ke Prancis berdasarkan perjanjian transfer narapidana antara kedua negara. Di bawah sistem hukum Prancis, hukuman maksimal yang dapat dijalankan oleh Atlaoui adalah 30 tahun penjara, dengan peluang mendapatkan pembebasan bersyarat atau parole apabila telah menjalani dua pertiga masa tahanan.
Menteri Hukum dan HAM RI, Yusril Ihza Mahendra, dalam konferensi persnya menyatakan bahwa Indonesia tidak memiliki keberatan atas keputusan tersebut karena proses pemindahan narapidana telah dilakukan sesuai dengan hukum nasional dan perjanjian bilateral yang berlaku. Dalam hal ini, Prancis memiliki yurisdiksi penuh atas narapidana yang telah berada di bawah pengawasan sistem hukum mereka. Keputusan untuk mengeluarkan putusan parole Serge Atlaoui pun dianggap sebagai langkah sah dan sesuai norma internasional.
Table of Contents
Proses Hukum dan Kerja Sama Diplomatik
Putusan parole Serge Atlaoui tidak terjadi secara instan. Setelah transfer ke Prancis pada awal 2025, pihak otoritas penjara di negara tersebut melakukan evaluasi terhadap perilaku, kondisi kesehatan, serta rekam jejak hukum Atlaoui selama menjalani masa tahanan di Indonesia. Berdasarkan laporan yang dirilis, Serge menunjukkan perilaku baik, mengikuti program rehabilitasi, dan dinilai tidak lagi menjadi ancaman publik.
Faktor penting yang menjadi pertimbangan adalah kesehatannya yang menurun drastis. Serge Atlaoui diketahui menderita kanker dalam tahap kronis. Hal ini menambah beban kemanusiaan dan memperkuat dasar bagi otoritas Prancis untuk menerbitkan parole. Pemerintah Indonesia pun menilai, dalam konteks hak asasi manusia dan etika, putusan tersebut dapat diterima secara rasional dan tidak bertentangan dengan prinsip hukum yang dianut Indonesia.
Perjanjian repatriasi narapidana antara Indonesia dan Prancis menjadi instrumen utama yang memungkinkan pelaksanaan putusan parole Serge Atlaoui. Kerja sama ini menjadi salah satu bentuk konkret hubungan diplomatik yang sehat dan fungsional antara kedua negara. Selain Atlaoui, pemerintah Indonesia menyebut telah mempertimbangkan kasus serupa yang memungkinkan untuk dilakukan berdasarkan prinsip timbal balik.
Dampak dan Persepsi Publik Internasional
Reaksi terhadap putusan parole Serge Atlaoui terbelah di masyarakat internasional. Sebagian aktivis hak asasi manusia menyambut keputusan tersebut sebagai langkah maju dalam perlindungan hak tahanan dan penerapan prinsip kemanusiaan. Mereka menilai, hukuman mati dalam kasus narkoba sering kali bersifat eksesif dan tidak mempertimbangkan konteks sosial atau latar belakang pelaku.
Namun, tidak sedikit pula yang mengkritik kebijakan ini. Beberapa pihak di Indonesia merasa bahwa kasus Atlaoui seharusnya tetap dijalankan sesuai putusan awal, karena berkaitan dengan kejahatan berat berupa produksi narkoba skala besar. Kekhawatiran akan preseden hukum juga muncul—yakni bahwa pelaku kejahatan berat dapat mencari celah melalui transfer tahanan ke negara asal demi mendapat pengurangan hukuman.
Kendati demikian, pemerintah Indonesia menegaskan bahwa putusan parole Serge Atlaoui bukan bentuk pembebasan total. Ia tetap berstatus terpidana, hanya saja menjalani hukuman di luar penjara dengan pengawasan. Jika terbukti melanggar syarat yang ditetapkan selama masa parole, ia dapat ditarik kembali ke sistem penjara oleh otoritas Prancis.
Baca juga : Kemitraan Militer Prancis Indonesia Diperluas Tahun 2025
Indonesia juga menjadikan kasus ini sebagai refleksi untuk memperkuat mekanisme transfer narapidana di masa depan. Ditekankan bahwa keputusan pemindahan narapidana asing akan tetap mempertimbangkan aspek keadilan, keamanan nasional, serta kedaulatan hukum. Evaluasi terhadap kerja sama sejenis dengan negara lain pun akan dilakukan secara berkala agar tidak merugikan kepentingan hukum Indonesia.
Putusan parole Serge Atlaoui mencerminkan pentingnya kolaborasi hukum lintas negara dalam mengelola narapidana kasus internasional. Meski masih menyisakan perdebatan, keputusan ini menjadi cermin bagaimana sistem hukum yang berbeda dapat saling berinteraksi dalam kerangka hukum internasional dan kemanusiaan. Bagi Indonesia, ini adalah bentuk kedewasaan diplomasi hukum yang tidak mengorbankan prinsip nasionalisme, namun tetap membuka ruang kompromi yang manusiawi.