Insiden Taiwan di Paris menyita perhatian publik internasional setelah dua orang diduga staf diplomatik Tiongkok menerobos upacara penghargaan teh di Prancis. Peristiwa itu terjadi pada ajang bergengsi AVPA “Teas of the World 2025” di Kedutaan Besar Peru, Paris, pada 2 Desember lalu. Saat bendera Taiwan muncul di layar, kedua individu tersebut meneriakkan slogan politik seperti “Taiwan is part of China” di depan peserta dan juri yang tengah memberikan penghargaan kepada produsen teh asal Taichung, Leo Hsieh, dari Lishan Juxin Tea Industry.

Insiden Taiwan di Paris terjadi saat upacara penghargaan teh dunia, ketika dua orang meneriakkan slogan pro-Tiongkok di tengah acara bergengsi AVPA. Momen ini terekam video dan viral di media sosial Taiwan, memicu perdebatan tentang etika diplomatik serta meningkatnya ketegangan antar kedua pihak. Meski demikian, acara penghargaan tetap berlanjut, dengan para tamu dan peserta lain menegur pelaku dan meminta mereka meninggalkan ruangan. Hsieh sendiri menuturkan bahwa ia tetap bangga membawa nama negaranya dan menerima banyak dukungan moral setelah kejadian tersebut.

Insiden Taiwan di Paris terjadi saat upacara penghargaan teh dunia, ketika dua orang meneriakkan slogan pro-Tiongkok di tengah acara bergengsi AVPA. Menurut laporan resmi AVPA, lebih dari 300 produk dari 18 negara ikut berpartisipasi tahun ini, dan Taiwan menorehkan hasil gemilang dengan puluhan penghargaan. Namun, bayang-bayang insiden politik membuat kemenangan tersebut ikut terseret ke ranah diplomasi. Peristiwa ini memperlihatkan bagaimana arena budaya dan kuliner kerap menjadi panggung representasi nasional, di mana batas antara identitas produk dan politik negara menjadi sangat tipis.

Reaksi Taiwan dan Klarifikasi Pemerintah

Menanggapi insiden tersebut, Kementerian Luar Negeri (MOFA) Taiwan menyatakan bahwa pihaknya telah menghubungi panitia dan otoritas Prancis untuk memastikan keselamatan warganya di luar negeri. Dalam pernyataannya, MOFA menegaskan bahwa Taiwan bukan bagian dari Republik Rakyat Tiongkok dan kedua pihak tidak berada di bawah yurisdiksi satu sama lain. Pemerintah juga memuji sikap panitia AVPA yang menjaga ketertiban serta menolak bentuk gangguan dalam acara internasional.

Media lokal Taiwan menyoroti bahwa ini bukan pertama kalinya peserta asal Taiwan menghadapi tekanan politik di ajang luar negeri. Beberapa tahun terakhir, muncul berbagai insiden di mana penyelenggara diminta mengganti label “Taiwan” dengan “Chinese Taipei” untuk menghindari protes diplomatik. Namun, dalam kasus Insiden Taiwan di Paris, panitia memilih mempertahankan nama “Taiwan” sesuai data pendaftaran peserta. Sikap ini mendapat apresiasi luas di kalangan masyarakat Taiwan karena dianggap menghormati kedaulatan simbolik negara tersebut.

Insiden Taiwan di Paris terjadi saat upacara penghargaan teh dunia, ketika dua orang meneriakkan slogan pro-Tiongkok di tengah acara bergengsi AVPA. Pengamat hubungan internasional menilai insiden ini menegaskan bahwa politik identitas masih membayangi diplomasi budaya di Eropa. Prancis sendiri menjaga hubungan ekonomi penting dengan Tiongkok, namun di sisi lain tetap membuka ruang untuk partisipasi organisasi dan pelaku bisnis asal Taiwan. MOFA menyebut bahwa pihaknya tidak berencana menempuh jalur hukum, tetapi akan memperkuat koordinasi keamanan bagi warga Taiwan di luar negeri yang mengikuti ajang serupa di masa mendatang.

Sementara itu, pemerintah Tiongkok belum mengeluarkan komentar resmi, namun beberapa media pro-Beijing menyebut tindakan pelaku “spontan sebagai bentuk patriotisme.” Narasi itu menimbulkan kontroversi, terutama di kalangan netizen internasional yang menilai gangguan semacam itu tidak pantas terjadi di acara budaya. Di Taiwan sendiri, Insiden Taiwan di Paris menjadi trending topic dan banyak warga menganggapnya sebagai bukti nyata tekanan politik lintas batas.

Prestasi Taiwan dan Simbol Budaya Global

Terlepas dari gangguan tersebut, capaian Taiwan dalam kompetisi teh internasional itu tetap mendapat sorotan positif. Dari 300 produk yang dinilai oleh juri independen, Taiwan meraih 10 Gold Gourmets, 8 Silver, 12 Bronze, dan 24 AVPA Gourmet Product Awards. Produk Huagang Snow Source Tea dari Lishan Juxin menjadi salah satu yang menonjol, memperkuat reputasi Taiwan sebagai produsen teh berkualitas tinggi di dunia. Hsieh menyebut penghargaan ini sebagai hasil kerja keras petani di dataran tinggi Lishan yang menjaga kualitas dan tradisi panen manual selama puluhan tahun.

Dalam konteks ekonomi, ekspor teh premium Taiwan menunjukkan peningkatan stabil ke Eropa dalam lima tahun terakhir, terutama untuk varian oolong dan teh hijau fermentasi rendah. Pasar Prancis, Jerman, dan Belgia menjadi sasaran utama karena konsumen di wilayah tersebut mulai mengapresiasi teh artisan dengan aroma khas. Namun, Insiden Taiwan di Paris dinilai bisa berdampak pada strategi promosi jika ketegangan politik terus berlanjut. Beberapa pengusaha teh mengaku waspada terhadap kemungkinan pembatasan partisipasi dalam ajang pameran internasional di masa depan.

Di sisi lain, panitia AVPA menegaskan bahwa lembaganya bersifat netral dan fokus pada promosi kualitas produk, bukan politik. Mereka berharap penghargaan terhadap teh Taiwan tetap menjadi simbol keberagaman budaya dan dedikasi petani kecil terhadap kualitas. Sorotan ini juga memberi momentum bagi komunitas teh dunia untuk berdiskusi soal etika diplomatik dalam acara internasional. Dalam banyak pandangan, Insiden Taiwan di Paris menjadi pengingat bahwa penghormatan terhadap peserta dari berbagai negara adalah bagian dari menjaga integritas ajang global.

Dampak Diplomatik dan Narasi Global

Secara diplomatik, Insiden Taiwan di Paris memperlihatkan bagaimana soft power bisa berbalik menjadi arena konfrontasi. Taiwan selama ini menggunakan jalur budaya, kuliner, dan inovasi untuk memperkuat citra positifnya di dunia internasional, sebagai strategi menghadapi isolasi diplomatik. Di sisi lain, Tiongkok tetap berupaya menegaskan klaimnya dengan menekan setiap bentuk representasi Taiwan di forum publik internasional, termasuk olahraga, pameran, dan ajang penghargaan.

Ketegangan ini kini merambah ruang budaya yang selama ini dianggap netral. Di Eropa, pemerintah Prancis sejauh ini menjaga jarak diplomatik agar tidak memperkeruh hubungan dengan kedua pihak. Namun, sejumlah anggota parlemen Prancis menyerukan agar kebebasan berekspresi dan penghormatan terhadap peserta asing dijamin di wilayah negara mereka. Sikap ini menambah dimensi politik baru di luar hubungan bilateral Paris-Beijing.

Baca juga : Belajar Prancis Lewat Seni di Paris untuk Pengungsi

Banyak pengamat menyebut bahwa Insiden Taiwan di Paris bisa menjadi pemicu pembahasan baru tentang bagaimana negara tuan rumah menyeimbangkan etika diplomasi dan prinsip kebebasan individu dalam acara internasional. Bagi Taiwan, dukungan moral dari peserta lain menjadi simbol penting bahwa identitas nasional dapat dihargai tanpa harus dipolitisasi. Leo Hsieh menyebut penghargaan yang diterimanya tetap menjadi “kemenangan bersama petani dan pecinta teh Taiwan,” bukan sekadar trofi.

Ia menegaskan bahwa teh adalah warisan budaya yang menghubungkan manusia lintas negara. Namun, pemerintah di Taipei juga menyadari bahwa di era geopolitik yang kompleks, simbol sekecil bendera pun dapat memicu reaksi besar. Di tengah situasi ini, Insiden Taiwan di Paris akan diingat bukan hanya sebagai gangguan upacara, tetapi juga sebagai momen refleksi tentang arti kebanggaan nasional di panggung global.