Ketika Sentimen Berkembang Menjadi Ancaman

Beberapa tahun terakhir, kita menyaksikan hal yang mengkhawatirkan: Islamofobia di Eropa bukan lagi sekadar bisik-bisik di ruang privat atau komentar di media sosial. Ia tumbuh menjadi sesuatu yang lebih gamblang—seringkali kasar—dan mulai merasuki ruang publik, lembaga, bahkan kebijakan negara.

Di balik pernyataan politik dan argumen soal “sekularisme” atau “keamanan nasional,” banyak umat Muslim di Eropa merasa makin asing di tanah tempat mereka lahir dan dibesarkan. Ini bukan sekadar perasaan. Data dan insiden nyata membuktikan bahwa gelombang anti-Muslim di berbagai negara Eropa makin meningkat.

Islamofobia di Eropa: Antara Sekularisme dan Ketakutan Kolektif

Prancis, sebagai negara dengan populasi Muslim terbesar di Eropa Barat, menjadi titik panas dalam pembicaraan soal Islamofobia. Tahun 2025 baru berjalan setengahnya, namun sudah tercatat 94 kasus penyerangan terhadap masjid. Beberapa disertai vandalisme, lainnya melibatkan kekerasan fisik dan ancaman langsung kepada jamaah.

Kita bicara soal negara yang menjunjung tinggi semboyan “LibertĂ©, Ă©galitĂ©, fraternitĂ©,” namun realitas di lapangan tidak selalu mencerminkan semangat tersebut bagi komunitas Muslim. Wawancara media lokal dengan warga Muslim di Marseille menunjukkan bahwa banyak yang kini enggan mengenakan jilbab atau pergi ke masjid di malam hari karena takut.

Statistik yang Membuat Cemas

Menurut laporan CNCDH (Commission nationale consultative des droits de l’homme), peningkatan kasus diskriminasi berbasis agama di Prancis naik 32% dari 2023 ke 2024. Tahun 2025, trennya belum melambat. Lebih parah, banyak kasus tidak dilaporkan karena korban merasa tidak akan mendapat perlindungan yang adil dari aparat.

Sementara itu, data dari European Union Agency for Fundamental Rights menunjukkan bahwa serangan terhadap simbol keislaman, mulai dari masjid, sekolah Muslim, hingga pengusaha restoran halal, terus terjadi di berbagai wilayah Eropa Barat.

Islamofobia di Eropa Lain Tak Luput

Masalah ini bukan milik Prancis saja. Di Jerman, laporan dari BKA (BKA – Bundeskriminalamt) menyebutkan adanya lebih dari seribu kejahatan kebencian terhadap Muslim selama 2024. Austria dan Belanda mulai memberlakukan kebijakan pelarangan simbol keagamaan dalam ruang pendidikan dan administrasi publik.

Yang mengejutkan, banyak dari kebijakan ini dilegitimasi atas dasar “netralitas negara.” Tapi jika netral berarti meminggirkan satu kelompok atas nama yang lain, bukankah itu justru bentuk keberpihakan?

Dampak Psikologis: Ketakutan yang Tak Terucap

Dampaknya? Nyata dan dalam. Banyak Muslim Eropa merasa sedang hidup dalam dua dunia: satu dunia di rumah dan komunitas mereka, satu lagi di ruang publik di mana mereka harus menyesuaikan diri, menyembunyikan keyakinan, dan selalu waspada.

Menurut survei Observatoire de la laïcité, mayoritas Muslim di Prancis mengaku mengalami diskriminasi setidaknya sekali dalam satu tahun terakhir. Dan ini bukan cuma soal tidak dilayani di restoran atau dipandang sinis. Ini menyangkut peluang kerja, pendidikan, bahkan keamanan pribadi.

Saat Masyarakat Sipil Bicara

Namun tidak semua gelap. Di balik bayang-bayang Islamofobia, muncul pula suara-suara solidaritas. Komunitas lintas agama di Lyon dan Paris menyelenggarakan acara bersama, sementara kampanye daring seperti #JeSuisMusulman mendapat dukungan luas setelah serangan masjid di Marseille.

Organisasi seperti Coexister di Prancis dan Faith Matters di Inggris terus memfasilitasi ruang dialog antar agama. Upaya ini membuktikan bahwa masih banyak warga Eropa yang berdiri bersama umat Muslim, menolak kebencian dan diskriminasi.

Menghubungkan dengan Serangan Masjid 2025

Semua yang kita bahas ini punya keterkaitan langsung dengan peristiwa puncak yang mengguncang Prancis di awal 2025—serangan terhadap sebuah masjid yang menyebabkan kepanikan nasional dan memicu debat sengit di parlemen soal perlindungan minoritas.

Untuk membaca kronologi, dampak emosional, dan refleksi lebih luas dari insiden tersebut.

Baca Juga:
Serangan Masjid Prancis 2025: Cermin Gelap Islamofobia yang Kian Membara

Kesimpulan: Haruskah Kita Khawatir tentang Islamofobia di Eropa?

Jawaban pendeknya: ya. Tapi jawaban lengkapnya lebih kompleks. Islamofobia di Eropa bukan hanya soal sentimen, tapi soal sistem. Ini tentang bagaimana kebijakan dibuat, bagaimana narasi dibentuk, dan siapa yang diberi ruang untuk bicara.

French Islamophobia: How Orthopraxy Is Conceptualized as a Public Peril

Tapi ada harapan. Selama masih ada yang berani bersuara, membagikan data, dan menolak diam, akan selalu ada peluang untuk perubahan. Kita butuh lebih banyak cerita, lebih banyak dialog, dan lebih banyak keberanian untuk menyebut diskriminasi dengan namanya yang sebenarnya.

Dan untuk itu, artikel seperti ini hanyalah langkah kecil. Tapi langkah kecil tetap lebih baik daripada diam.