Presiden Emmanuel Macron secara terbuka mengakui adanya kekerasan Prancis di Kamerun pada masa dekolonisasi, sebuah periode kelam yang selama ini jarang dibahas secara resmi. Pernyataan ini disampaikan pada 12 Agustus 2025, dalam sebuah pidato yang berfokus pada rekonsiliasi sejarah antara Prancis dan bekas wilayah koloninya di Afrika Tengah.

Macron menyebut bahwa selama proses dekolonisasi pada akhir 1950-an hingga awal 1960-an, pasukan Prancis terlibat dalam operasi militer yang menyebabkan ribuan korban jiwa, termasuk warga sipil. Konflik tersebut terkait dengan upaya memadamkan gerakan kemerdekaan yang dipimpin oleh kelompok nasionalis di Kamerun. Pengakuan ini dianggap sebagai langkah penting menuju transparansi sejarah, meski sebagian pihak menilai masih banyak aspek yang belum diungkapkan secara rinci.

Langkah Macron ini memicu respons luas, baik di Kamerun maupun di Prancis. Sebagian pihak memuji keberanian politiknya, namun ada pula yang menuntut langkah lanjutan, termasuk pembukaan arsip resmi dan permintaan maaf formal atas kekerasan Prancis di Kamerun.

Latar Belakang Sejarah Kekerasan

Pernyataan Macron terkait kekerasan Prancis di Kamerun tidak dapat dilepaskan dari konteks sejarah panjang kolonialisme Prancis di Afrika. Kamerun berada di bawah mandat Prancis setelah Perang Dunia I, menggantikan kekuasaan Jerman. Pada akhir 1950-an, gerakan kemerdekaan yang dipimpin Union des Populations du Cameroun (UPC) semakin kuat, menuntut kemerdekaan penuh tanpa kompromi.

Sebagai respons, pemerintah kolonial Prancis melancarkan operasi militer berskala besar untuk menumpas pemberontakan. Operasi ini menargetkan wilayah pedesaan, yang sering kali menjadi basis dukungan UPC. Dalam prosesnya, banyak desa dibakar, ribuan warga ditangkap, dan tidak sedikit yang menjadi korban penyiksaan atau eksekusi tanpa pengadilan.

Pengakuan Macron atas kekerasan Prancis di Kamerun menjadi sinyal bahwa pemerintah Prancis mulai mengakui dimensi gelap dari masa lalu kolonialnya. Namun, kelompok pegiat HAM dan sejarawan menekankan bahwa pengakuan lisan tidak cukup. Mereka mendesak pembukaan arsip militer dan diplomatik yang masih dirahasiakan, agar kebenaran sejarah dapat diungkap secara utuh.

Reaksi Politik dan Publik

Pengakuan resmi atas kekerasan Prancis di Kamerun memicu beragam reaksi dari dunia politik, akademisi, dan masyarakat luas. Di Kamerun, sejumlah pejabat menyambut baik pernyataan Macron sebagai awal dari proses rekonsiliasi yang selama ini diabaikan. Mereka melihatnya sebagai peluang untuk memperbaiki hubungan bilateral dan memperkuat kerja sama di masa depan.

Namun, aktivis lokal dan korban yang selamat dari periode tersebut menganggap langkah ini masih setengah hati. Mereka menuntut kompensasi dan pengakuan yang lebih tegas atas penderitaan yang dialami generasi sebelumnya. Di Prancis, pernyataan ini memicu perdebatan sengit di parlemen. Beberapa anggota parlemen mendukung langkah Macron sebagai bentuk kepemimpinan moral, sementara pihak oposisi menuduhnya melemahkan citra nasional dengan membuka kembali luka lama.

Media internasional menyoroti keberanian Macron dalam mengangkat isu yang sensitif ini. Akan tetapi, pengakuan terhadap kekerasan Prancis di Kamerun juga memunculkan pertanyaan tentang konsistensi kebijakan Prancis terhadap negara-negara bekas koloninya yang lain. Banyak yang bertanya apakah langkah serupa akan diambil untuk mengakui kekerasan di Aljazair, Madagaskar, dan wilayah lain.

Pengakuan atas kekerasan Prancis di Kamerun memiliki potensi besar untuk memperbaiki hubungan diplomatik kedua negara. Namun, rekonsiliasi sejati memerlukan langkah-langkah konkret. Pertama, transparansi melalui pembukaan arsip dan dokumen resmi yang dapat diakses publik. Kedua, program pendidikan sejarah yang memasukkan peristiwa ini ke dalam kurikulum sekolah, baik di Prancis maupun di Kamerun.

Selain itu, pembahasan kompensasi menjadi isu penting. Meski Macron belum menjanjikan bentuk ganti rugi, banyak pihak meyakini bahwa pengakuan ini harus diikuti oleh dukungan finansial atau proyek pembangunan yang ditujukan untuk komunitas yang terdampak. Beberapa analis menilai bahwa permintaan maaf formal dari pemerintah Prancis akan menjadi langkah simbolis yang kuat, memperkuat pengakuan terhadap kekerasan Prancis di Kamerun dan menutup bab sejarah dengan lebih bermartabat.

Baca juga : Pembatasan Visa Diplomat Aljazair oleh Prancis

Di sisi lain, tantangan terbesar adalah mengatasi resistensi politik di dalam negeri Prancis. Sebagian pihak khawatir bahwa terlalu banyak mengungkit masa lalu dapat merusak citra negara sebagai kekuatan dunia yang modern dan demokratis. Namun, bagi para pendukung pengakuan ini, kejujuran sejarah justru akan memperkuat kredibilitas Prancis di mata dunia.

Dengan pengakuan ini, Macron telah membuka pintu menuju diskusi yang lebih luas tentang peran Prancis di masa lalu kolonialnya. Bagaimana pintu itu dimanfaatkan akan menentukan apakah hubungan Prancis-Kamerun benar-benar bisa bertransformasi dari bayang-bayang kekerasan Prancis di Kamerun menuju masa depan yang lebih setara dan saling menghormati.