Prancis resmi keluarkan surat perintah penangkapan Assad atas kasus pembunuhan dua jurnalis 2012 di Homs, langkah hukum penting dalam kejahatan perang. Prancis membuat gebrakan hukum internasional dengan mengumumkan surat perintah penangkapan Assad terkait pengeboman di Homs pada Februari 2012 yang menewaskan dua jurnalis, Marie Colvin dari Amerika Serikat dan Remi Ochlik dari Prancis. Investigasi menyimpulkan bahwa serangan tersebut bukan insiden acak, melainkan operasi terencana untuk membungkam liputan media internasional yang menyoroti kebrutalan rezim Suriah.

Langkah hukum ini bukan hanya simbol, melainkan juga sinyal tegas bahwa pemimpin negara, sekalipun mantan kepala pemerintahan, bisa dimintai pertanggungjawaban atas dugaan kejahatan perang. Meski perdebatan hukum sebelumnya mengakui kekebalan kepala negara, kini situasi berubah setelah Assad tidak lagi menjabat. Dengan begitu, surat perintah penangkapan Assad dapat diterapkan sebagai bagian dari mekanisme keadilan internasional.

Penerbitan surat perintah ini menimbulkan resonansi luas di Eropa dan dunia. Banyak pihak menilai keputusan ini merupakan preseden penting yang memperkuat prinsip akuntabilitas. Sebaliknya, rezim Suriah masih membantah tuduhan tersebut, menegaskan bahwa serangan di Homs adalah operasi militer sah. Namun, bagi keluarga korban dan organisasi kebebasan pers, langkah ini memberi harapan baru bahwa kebenaran akan ditegakkan.

Tokoh yang Terlibat dalam Kasus Homs

Surat perintah penangkapan Assad tidak berdiri sendiri. Selain mantan presiden Suriah itu, enam pejabat tinggi juga disebutkan dalam daftar, termasuk Maher al-Assad, saudara kandung yang memimpin Divisi Lapisan Keempat, serta pejabat keamanan seperti Ali Mamlouk, Ali Ayoub, Ghassan Bilal, Mohamed Dib Zaitoun, dan Rafik Mahmoud Shahadah. Mereka semua diduga terlibat dalam strategi sistematis membidik pusat media di Homs.

Menurut laporan pengacara dari Federasi Internasional untuk Hak Asasi Manusia (FIDH), serangan yang menewaskan Colvin dan Ochlik adalah bagian dari kampanye sistematis untuk membatasi liputan independen. Mazen Darwish, aktivis media Suriah, menyebut serangan itu sebagai “pesan teror” yang ditujukan kepada jurnalis internasional agar berhenti melaporkan krisis kemanusiaan di Suriah.

Pengadilan di Paris memandang bukti yang diajukan sudah cukup kuat untuk melanjutkan proses hukum. Sebelumnya, Mahkamah Kasasi Prancis memang membatalkan surat perintah serupa pada Juli 2025 dengan alasan kekebalan kepala negara. Namun, setelah masa jabatan Assad berakhir, peluang hukum kembali terbuka. Inilah yang membuat surat perintah penangkapan Assad kali ini memiliki dasar legal lebih kuat dan sulit dipatahkan.

Kasus Homs sendiri telah menjadi sorotan lebih dari satu dekade. Investigasi internasional mendapati bahwa pusat media sengaja menjadi target, dengan teknologi pelacakan sinyal digunakan untuk menemukan lokasi jurnalis asing. Fakta-fakta ini memperkuat tuduhan bahwa serangan tersebut bukan sekadar akibat perang, melainkan strategi sistematis rezim Assad.

Dampak Hukum dan Diplomasi Internasional

Penerbitan surat perintah penangkapan Assad membawa konsekuensi besar di ranah hukum dan diplomasi. Dari sisi hukum, ini menegaskan bahwa pengadilan nasional dapat memainkan peran penting dalam menuntut kejahatan perang, meski biasanya proses seperti ini dilakukan di pengadilan internasional. Bagi komunitas hukum internasional, keputusan Prancis dianggap sebagai langkah maju dalam menutup celah kekebalan yang kerap melindungi pemimpin negara.

Namun, dari sisi diplomasi, langkah ini menimbulkan reaksi beragam. Negara-negara Barat umumnya menyambut baik keputusan tersebut, menyebutnya sebagai kemenangan kecil untuk kebebasan pers dan keadilan global. Sebaliknya, sekutu Suriah menilai langkah ini bersifat politis dan berpotensi mengganggu proses perdamaian di Timur Tengah. Rusia, misalnya, diperkirakan akan menolak keras implementasi surat perintah itu, mengingat hubungan dekat mereka dengan rezim Assad.

Selain itu, keputusan ini memberi sinyal kepada pemimpin dunia lainnya bahwa tindakan mereka bisa diawasi dan diproses secara hukum meski bertahun-tahun setelah kejadian. Efek jera semacam ini diharapkan mampu menekan potensi kejahatan perang di masa depan. Untuk Prancis sendiri, langkah ini memperkuat citra sebagai negara yang menjunjung tinggi prinsip hukum internasional, terutama dalam melindungi kebebasan pers.

Di sisi lain, ada tantangan praktis. Assad sendiri kemungkinan besar tidak akan meninggalkan wilayah yang aman baginya. Dengan demikian, surat perintah penangkapan Assad lebih banyak berfungsi sebagai simbol politik dan moral daripada sebagai langkah penegakan hukum yang bisa segera dijalankan. Namun, simbolisme ini tetap kuat, terutama bagi keluarga korban yang telah menanti keadilan lebih dari satu dekade.

Masa depan implementasi surat perintah penangkapan Assad akan bergantung pada kerja sama internasional. Jika negara-negara anggota Uni Eropa bersatu mendukung langkah ini, ruang gerak Assad dan pejabat rezimnya akan semakin terbatas. Mereka mungkin menghadapi risiko penangkapan bila melakukan perjalanan ke luar negeri. Tekanan diplomatik juga bisa meningkat, membuat rezim Suriah semakin terisolasi.

Namun, penegakan surat perintah ini tidak mudah. Faktor geopolitik menjadi penghalang utama. Suriah masih memiliki dukungan dari negara-negara kuat seperti Rusia dan Iran, yang dipastikan tidak akan menyerahkan Assad ke otoritas Prancis. Selain itu, Dewan Keamanan PBB kemungkinan akan terbelah jika isu ini dibawa ke forum global, mengingat hak veto yang dimiliki negara-negara besar.

Baca juga : Prancis Kecam Permukiman E1 Israel di Tepi Barat

Meskipun demikian, surat perintah ini tetap penting sebagai instrumen hukum dan moral. Ia memberi dasar bagi upaya lebih lanjut, baik dalam pengadilan internasional maupun mekanisme transnasional. Kasus ini juga menjadi pengingat bagi masyarakat internasional tentang pentingnya menegakkan akuntabilitas. Jika berhasil, surat perintah penangkapan Assad bisa menjadi preseden kuat dalam hukum internasional, memperluas cakupan pertanggungjawaban bagi kejahatan perang di masa depan.

Lebih jauh, keputusan ini memberi pesan jelas: kebebasan pers tidak boleh dipatahkan dengan kekerasan. Jurnalis yang menjadi korban konflik harus dilindungi, dan setiap upaya membungkam mereka harus diperlakukan sebagai kejahatan serius. Dengan begitu, surat perintah ini bukan hanya untuk Assad dan lingkaran dekatnya, tetapi juga simbol solidaritas bagi semua jurnalis yang bekerja di medan konflik.