
Kerja Sama Penerbangan Indonesia dan Prancis kembali diperkuat melalui pembaruan kerangka teknis yang menitikberatkan pada peningkatan keselamatan penerbangan sipil. Kesepakatan terbaru dituangkan dalam Annex V yang menjadi acuan program kerja antara otoritas penerbangan kedua negara. Langkah ini muncul ketika industri penerbangan domestik terus tumbuh dan menuntut pengawasan yang makin presisi. Program ini menekankan keselarasan dengan rekomendasi ICAO melalui evaluasi rutin dan pembaruan prosedur.
Penandatanganan Annex V dilakukan secara sirkular, dimulai dari Jakarta pada 3 Desember 2025 dan disusul penandatanganan di Paris pada 17 Desember 2025. Skema ini menegaskan kedua pihak bergerak cepat tanpa menunggu pertemuan tatap muka yang sering terkendala jadwal akhir tahun. Pemerintah menilai pembaruan dokumen penting untuk menjaga standar layanan, baik bagi maskapai, operator bandara, maupun penyedia navigasi. Hasilnya diharapkan mempercepat koordinasi teknis, dari inspeksi sampai penanganan temuan audit, sekaligus memperkuat tindak lanjut perbaikan di lapangan.
Selain menegaskan komitmen bersama, kerja sama ini juga menandai berakhirnya Annex IV yang sebelumnya menjadi rujukan teknis. Kerja Sama Penerbangan tersebut difokuskan pada peningkatan kapasitas pengawas, penguatan kompetensi sumber daya manusia, serta pertukaran praktik terbaik. Di tengah perhatian publik pada keamanan perjalanan udara, langkah ini dipandang sebagai investasi kebijakan yang berdampak pada kepercayaan penumpang dan reputasi sistem keselamatan secara berkelanjutan bagi industri.
Table of Contents
Annex V Jadi Acuan Baru Program Teknis Dua Otoritas
Kerangka Annex V disebut sebagai turunan dari Technical Cooperation Agreement yang ditandatangani pada 2019, namun isinya disesuaikan dengan kebutuhan terbaru pengawasan penerbangan sipil. Pemerintah menilai pembaruan ini penting karena regulasi, teknologi, dan model bisnis penerbangan berubah cepat dalam beberapa tahun terakhir. Fokusnya mencakup pengawasan operator, bandara, dan layanan navigasi, termasuk penguatan metode penilaian risiko, pemanfaatan data operasi, serta harmonisasi istilah teknis. Melalui Kerja Sama Penerbangan, kedua otoritas menyiapkan paket kegiatan yang dapat diukur, termasuk lokakarya, pertukaran evaluator, dan studi kasus keselamatan, serta kunjungan lapangan bersama inspektur untuk membahas temuan, tren risiko, dan langkah mitigasi.
Poin lain yang disorot adalah Annex V menggantikan Annex IV, sehingga rujukan teknis sebelumnya dinyatakan tidak berlaku. Perubahan ini membuat agenda pelatihan, asistensi, dan pertukaran ahli berada dalam satu peta jalan yang sama. Dalam praktiknya, Kerja Sama Penerbangan dapat mencakup pendampingan inspeksi, penyempurnaan manual, pembinaan inspektur, simulasi audit, hingga penguatan sistem pelaporan temuan dan tindak lanjut perbaikan. Kegiatan tersebut biasanya terkait temuan audit dan rencana aksi korektif agar setiap rekomendasi ditutup dengan bukti penerapan yang bisa diverifikasi.
Annex V juga menetapkan masa berlaku enam bulan dan membuka opsi perpanjangan berdasarkan kesepakatan. Durasi yang singkat dipandang memberi ruang fleksibilitas untuk memperbarui program secara cepat dan tepat sesuai prioritas, hasil evaluasi lapangan, serta masukan dari pelaku industri melalui forum teknis. Pelaporan kemajuan, daftar capaian, dan catatan hambatan menjadi bahan keputusan apakah perlu diperpanjang atau disesuaikan pada periode berikutnya. Dengan mekanisme itu, Kerja Sama Penerbangan diharapkan menjadi siklus kerja, bukan sekadar seremoni.
Pengawasan Keselamatan dan Peningkatan SDM Jadi Prioritas
Fokus teknis utama kerja sama ini adalah penguatan pengawasan keselamatan, termasuk cara otoritas melakukan sertifikasi, pengawasan berkelanjutan, dan penindakan atas temuan. Pemerintah menilai sistem pengawasan yang kuat membantu mencegah risiko sejak awal, sebelum berkembang menjadi insiden. Melalui Kerja Sama Penerbangan, Indonesia berpeluang memperkaya metodologi inspeksi berbasis risiko, pemanfaatan data, serta penyusunan rencana pengawasan tahunan yang lebih tajam. Pendekatan ini penting saat lalu lintas udara naik, karena pengawasan harus mampu memprioritaskan area berisiko tinggi tanpa menghambat layanan, terutama pada rute padat, kondisi cuaca ekstrem, dan operasi di bandara terbatas yang dinamis.
Porsi lain menekankan peningkatan kompetensi sumber daya manusia penerbangan, mulai dari pelatihan inspektur, auditor, hingga pengembang regulasi. Di sektor yang sangat teknis, kualitas SDM menentukan ketepatan penilaian terhadap operasi maskapai, perawatan pesawat, sampai manajemen bandara. Kerja Sama Penerbangan membuka ruang transfer pengetahuan, seperti modul pelatihan, coaching di tempat kerja, dan pembahasan studi kasus yang relevan dengan kondisi Indonesia. Pelatihan juga dapat menyasar evaluasi organisasi pemeliharaan, kalibrasi peralatan navigasi, dan pengawasan prosedur operasi standar di bandara.
Selain itu, pertukaran praktik terbaik menyentuh aspek sistemik, seperti pelaporan keselamatan, manajemen perubahan, dan koordinasi antarunit ketika ada temuan berulang. Penguatan ini sejalan dengan upaya menerapkan standar dan rekomendasi ICAO secara konsisten, terutama pada pilar State Safety Programme dan Safety Management System. Dengan Kerja Sama Penerbangan yang lebih terstruktur, kedua pihak menargetkan peningkatan kapasitas yang bisa diukur melalui indikator pelaksanaan, kualitas dokumentasi, dan hasil evaluasi. Targetnya bukan hanya dokumen rapi, tetapi perubahan perilaku keselamatan yang terasa di lapangan melalui tindak lanjut temuan dan umpan balik operator.
Efek ke Industri dan Penilaian Hasil dalam Enam Bulan
Pembaruan Annex V dinilai memberi sinyal bahwa peningkatan keselamatan tidak berhenti di level kebijakan, tetapi diterjemahkan menjadi kerja teknis yang spesifik. Program yang disusun mencakup lokakarya, asistensi lapangan, serta evaluasi bersama atas prosedur sertifikasi, pengawasan, penutupan temuan, dan penguatan pengamanan penerbangan sipil. Kerja Sama Penerbangan juga diharapkan mempercepat penguatan kompetensi, terutama pada fungsi yang menuntut sertifikasi, jam terbang pelatihan, pengalaman audit, serta penilaian faktor manusia dalam operasi.
Dalam konteks layanan publik, konsistensi pengawasan diproyeksikan memperkuat rasa aman penumpang sekaligus menambah daya saing industri penerbangan nasional. Di tingkat industri, maskapai dan operator bandara biasanya merasakan dampak ketika pengawasan menjadi lebih konsisten, misalnya lewat standar pemeriksaan yang jelas dan rencana tindak lanjut yang terjadwal di berbagai wilayah operasi. Kepastian prosedur dapat menekan biaya akibat ketidakpastian, mengurangi risiko temuan berulang, dan membantu perusahaan menyusun prioritas perbaikan yang realistis.
Baca juga : Pabrik Robertet Indonesia Perkuat Industri Rasa Wangi
Kerja Sama Penerbangan Indonesia dan Prancis diperbarui lewat Annex V untuk pengawasan keselamatan, peningkatan SDM, dan penerapan standar ICAO. Namun, perubahan pedoman perlu disosialisasikan dengan bahasa yang mudah dipahami agar tidak menimbulkan kebingungan di lini operasi, termasuk kru lapangan, teknisi, dan petugas pelayanan agar prosedur baru tidak menimbulkan salah tafsir saat pemeriksaan rutin. Otoritas dan pelaku usaha juga perlu menyelaraskan sistem pelaporan agar data keselamatan bisa ditarik sebagai dasar keputusan, bukan sekadar kewajiban administrasi.
Selama masa berlaku enam bulan, kegiatan yang dipilih diperkirakan berfokus pada hasil cepat, seperti penyelarasan pedoman, pelatihan intensif, pertukaran ahli, dan peninjauan kasus prioritas pada area berisiko tinggi. Capaian sementara akan menjadi bahan evaluasi untuk memutuskan perpanjangan, sekaligus mengatur ulang daftar prioritas dengan matriks risiko pada periode berikutnya. Kerja Sama Penerbangan pada akhirnya diukur dari indikator yang terlihat, seperti ketepatan respon terhadap temuan, peningkatan kualitas audit, konsistensi penerapan standar ICAO, serta kematangan penerapan SSP dan SMS. Pemerintah berharap evaluasi rutin membuat perbaikan berkelanjutan, sehingga setiap temuan menjadi pembelajaran yang terdokumentasi dan tidak berulang pada siklus pengawasan berikutnya.
