
Kolaborasi One Health ASEAN Prancis diperkuat lewat konferensi ilmiah di Jakarta untuk menghadapi risiko pandemi dan krisis iklim di kawasan. Kolaborasi One Health ASEAN Prancis menjadi fokus utama konferensi ilmiah dua hari yang digelar di Jakarta untuk memperkuat kesiapsiagaan kawasan menghadapi pandemi dan krisis iklim yang semakin sering terjadi. Pertemuan ini mengumpulkan ilmuwan, pembuat kebijakan, serta perwakilan lembaga riset dari negara-negara Asia Tenggara dan Prancis dalam satu forum strategis yang inklusif. Mereka membahas cara mengintegrasikan kesehatan manusia, hewan, dan lingkungan agar sistem pengawasan penyakit menjadi lebih tangguh dan responsif.
Dalam forum tersebut, Kolaborasi One Health ASEAN diposisikan sebagai model kerja sama lintas negara dan lintas sektor yang lebih terstruktur. Delegasi menyoroti pentingnya berbagi data, standar laboratorium, dan kapasitas riset agar potensi wabah dapat dideteksi lebih dini sebelum menyebar luas. Praktik terbaik dari berbagai negara juga dipertukarkan untuk mendorong kebijakan kesehatan yang adaptif terhadap perubahan iklim dan mobilitas manusia yang tinggi.
Pemerintah Indonesia memanfaatkan momentum Kolaborasi One Health ASEAN untuk menegaskan komitmen memperkuat sistem kesehatan nasional sekaligus berkontribusi pada arsitektur kesehatan global yang lebih adil. Keikutsertaan lembaga riset nasional dan kementerian teknis menunjukkan bahwa isu kesehatan kini tidak bisa dipisahkan dari kebijakan lingkungan, pangan, dan pembangunan berkelanjutan. Dengan pendekatan terpadu ini, negara-negara ASEAN dan Prancis berharap dapat mengurangi risiko krisis kesehatan di masa depan dan memperkuat kepercayaan publik di seluruh kawasan.
Table of Contents
Penguatan Sistem Kesehatan Regional
Konferensi di Jakarta menandai langkah penting dalam memperkuat sistem kewaspadaan dini kawasan Asia Tenggara terhadap ancaman penyakit menular baru dan lama. Para ahli menekankan perlunya jejaring laboratorium yang saling terhubung sehingga hasil uji penyakit menular dapat dibagikan secara cepat dan aman tanpa hambatan birokrasi. Dengan begitu, negara asal temuan kasus pertama dapat segera mengirim peringatan kepada tetangga terdekat dan mencegah penyebaran lintas batas yang lebih luas. Diskusi juga menyentuh kebutuhan investasi peralatan laboratorium modern di negara berpendapatan menengah agar kualitas diagnosis tidak tertinggal dari standar global.
Melalui Kolaborasi One Health ASEAN, kementerian kesehatan, pertanian, dan lingkungan diundang duduk bersama menyusun protokol tanggap darurat yang lebih sinkron dan mudah dipahami petugas di lapangan pada semua jenjang pemerintahan. Pendekatan ini mendorong integrasi data dari rumah sakit, klinik hewan, hingga sistem pemantauan kualitas lingkungan di daerah terpencil dan pulau-pulau kecil. Keterlibatan lembaga pendidikan dan organisasi masyarakat sipil juga dianggap penting untuk memperkuat literasi kesehatan publik dan memerangi misinformasi yang kerap menyebar di media sosial saat krisis dan masa pascakrisis.
Prancis menawarkan dukungan teknis dan pendanaan riset untuk mempercepat penerapan standar internasional di kawasan, termasuk pelatihan tenaga laboratorium dan ahli epidemiologi muda dari berbagai negara. Melalui kerja sama ini, Kolaborasi One Health ASEAN diharapkan mampu melahirkan proyek percontohan, mulai dari pengembangan vaksin hingga inovasi pemantauan digital di pusat-pusat populasi padat dan kawasan perbatasan. Keberhasilan proyek awal akan menjadi dasar memperluas Kolaborasi One Health ASEAN ke lebih banyak sektor, termasuk pariwisata, perdagangan lintas negara, dan keamanan pangan regional yang saling bergantung erat satu sama lain.
Perubahan Iklim dan Ancaman Kesehatan Terpadu
Selain pandemi, para peserta konferensi menyoroti dampak perubahan iklim terhadap munculnya penyakit baru dan kebangkitan penyakit lama di berbagai belahan dunia. Kenaikan suhu, banjir, dan kekeringan memperluas habitat vektor penyakit seperti nyamuk dan tikus yang membawa virus maupun bakteri ke wilayah yang sebelumnya relatif aman. Perubahan pola tanam dan alih fungsi lahan juga memaksa satwa liar bergerak lebih dekat ke permukiman, meningkatkan interaksi manusia-hewan yang berpotensi memicu zoonosis dengan skala yang sulit diprediksi, serta memperbesar tekanan pada sistem layanan kesehatan primer di desa dan kota kecil di seluruh kawasan.
Dalam konteks ini, Kolaborasi One Health ASEAN dipandang penting untuk menyatukan kajian epidemiologi dengan ilmu lingkungan dan ekonomi pembangunan. Negara-negara peserta membahas cara memperkuat sistem peringatan dini bencana iklim, memperbaiki tata ruang, dan membangun infrastruktur tahan iklim seperti rumah sakit, puskesmas, dan pusat evakuasi di daerah pesisir maupun pegunungan. Pendekatan terpadu memungkinkan pemerintah menghitung biaya kerugian ekonomi jika tidak melakukan adaptasi, sekaligus merancang kebijakan insentif bagi sektor swasta agar berinvestasi pada energi bersih dan teknologi rendah emisi.
Prancis membawa pengalaman panjang dalam riset iklim dan kesehatan masyarakat melalui kolaborasi universitas serta lembaga riset multidisiplin yang telah berjalan puluhan tahun. Negara ini menawarkan dukungan untuk pengembangan model risiko terpadu yang menggabungkan data iklim, data kesehatan hewan, dan data sosial ekonomi sehingga pemerintah dapat mengambil keputusan berbasis bukti. Melalui kerja sama tersebut, Kolaborasi One Health ASEAN diharapkan mampu menghasilkan peta risiko yang lebih akurat sehingga investasi adaptasi dapat diarahkan ke wilayah paling rentan terlebih dahulu, termasuk komunitas pesisir kecil dan kota padat penduduk.
Agenda Lanjutan Menuju KTT Lyon 2026
Konferensi ilmiah di Jakarta juga dipandang sebagai batu loncatan menuju KTT One Health yang akan digelar di Lyon pada 2026, forum tingkat tinggi yang melibatkan kepala negara dan pimpinan organisasi internasional. Pertemuan tingkat tinggi itu diharapkan menyepakati komitmen pendanaan jangka panjang, kerangka kerja tata kelola global, dan indikator keberhasilan yang terukur sehingga kemajuan dapat dipantau secara berkala. Dengan fondasi teknis yang sudah dibahas di Jakarta, pertemuan di Prancis akan fokus memastikan implementasi nyata di lapangan, bukan sekadar deklarasi politik yang mudah dilupakan setelah konferensi berakhir.
Dalam diskusi panel, sejumlah pakar menilai Kolaborasi One Health ASEAN dapat menjadi contoh praktik baik bagi kawasan lain jika mampu menjaga konsistensi program dan menghindari pergantian prioritas tiap kali terjadi perubahan pemerintahan. Kekuatan utama kawasan terletak pada pengalaman menghadapi berbagai wabah, mulai dari flu burung hingga Covid-19, yang memberikan pelajaran berharga tentang pentingnya koordinasi lintas negara dan komunikasi publik yang jujur. Dengan dukungan mitra internasional, negara-negara ASEAN berpeluang memperkuat kapasitas produksi vaksin, obat, dan alat diagnostik, sehingga tidak selalu bergantung pada impor saat krisis global mengganggu rantai pasok.
Baca juga : Kolaborasi Psikolog Iklim UNS Bersama Timor Leste dan Prancis
Prancis sendiri melihat kerja sama ini sebagai bagian dari diplomasi kesehatan dan iklim yang menjadi prioritas kebijakan luar negerinya dalam beberapa tahun terakhir. Dengan memperdalam Kolaborasi One Health ASEAN, Paris ingin menunjukkan bahwa kemitraan dengan negara berkembang tidak hanya berfokus pada perdagangan, tetapi juga pada ketahanan masyarakat menghadapi krisis multidimensi yang saling terkait.
Pemantauan bersama terhadap penyakit zoonosis, program pelatihan tenaga kesehatan, dan riset bersama mengenai perubahan penggunaan lahan akan menjadi agenda penting dalam beberapa tahun ke depan, bersanding dengan komitmen penurunan emisi gas rumah kaca. Jika rencana tersebut berjalan konsisten, kawasan Asia Tenggara dapat muncul sebagai laboratorium kebijakan One Health yang memberi manfaat luas bagi kesehatan global serta mendorong solidaritas baru antara ASEAN dan Prancis yang dapat direplikasi oleh kawasan lain di dunia pada masa mendatang.
