
Duplomb law pesticide provision menjadi pusat perdebatan sengit di Prancis usai pemerintah mengesahkan kembali penggunaan dua jenis pestisida berisiko tinggi: acetamiprid dan flupyradifurone. Kebijakan yang terkandung dalam Undang-Undang Pertanian ini menyulut kemarahan warga, kelompok ilmuwan, serta organisasi lingkungan. Meski pemerintah berdalih langkah ini diperlukan demi ketahanan pertanian, kritik terus berdatangan menyangkut dampak buruk terhadap lebah, ekosistem, dan kesehatan manusia.
Menurut laporan France24, lebih dari 450.000 warga menandatangani petisi menolak Duplomb law pesticide provision hanya dalam hitungan hari. Angka ini menjadikannya salah satu petisi tercepat dalam sejarah situs Majelis Nasional Prancis. Di sisi lain, pemerintah tetap bersikeras bahwa langkah ini penting untuk menekan kerugian pertanian akibat serangan hama yang meningkat drastis dalam beberapa tahun terakhir.
Table of Contents
Dampak Lingkungan dan Kesehatan
Para ilmuwan menegaskan bahwa Duplomb law pesticide provision mengizinkan penggunaan senyawa yang sebelumnya telah dilarang karena terbukti berbahaya bagi lebah dan serangga penyerbuk. Neonicotinoid seperti acetamiprid masuk ke dalam jaringan tanaman, termasuk nektar dan serbuk sari, yang kemudian dikonsumsi oleh serangga penting dalam rantai ekosistem. Jika populasi serangga ini terganggu, maka hasil pertanian jangka panjang pun bisa menurun drastis.
Kekhawatiran juga datang dari komunitas medis. Penelitian menunjukkan bahwa paparan berkepanjangan terhadap pestisida ini dapat menyebabkan gangguan sistem saraf, terutama pada anak-anak. Risiko kanker dan penyakit neurodegeneratif juga disebut meningkat dalam paparan jangka panjang. Organisasi seperti Cancer Colère menuding pemerintah bermain-main dengan keselamatan publik demi kepentingan agribisnis besar.
Organisasi lingkungan seperti POLLINIS, Greenpeace Prancis, dan Oxfam telah mengeluarkan pernyataan bersama yang menyebut kebijakan ini sebagai bentuk “kemunduran ekologis” yang bertentangan dengan semangat transisi energi dan pertanian hijau yang dijanjikan Presiden Macron sejak awal masa jabatannya. Mereka menuntut pembatalan segera Duplomb law pesticide provision dan mendesak parlemen untuk membuat kebijakan berbasis sains, bukan tekanan lobi industri.
Respons Pemerintah dan Proyeksi ke Depan
Sementara itu, pemerintah Prancis mencoba meredam kemarahan publik dengan menyatakan bahwa penggunaan pestisida hanya bersifat sementara dan terbatas pada beberapa komoditas strategis seperti bunga matahari, kentang, dan tanaman biji-bijian. Menteri Pertanian menegaskan bahwa keputusan itu diambil setelah diskusi dengan serikat petani dan berdasarkan laporan kerusakan panen yang signifikan akibat hama.
Namun, anggota parlemen oposisi tidak puas dengan jawaban tersebut. Mereka berargumen bahwa langkah ini bisa membuka celah untuk penggunaan pestisida berbahaya lain di masa mendatang. Selain itu, kebijakan ini dinilai melanggar prinsip “non-regression” dalam hukum lingkungan Prancis—prinsip yang melarang mundurnya perlindungan lingkungan yang sudah ada.
Polemik mengenai Duplomb law pesticide provision juga memasuki ranah hukum. Beberapa organisasi masyarakat sipil telah mengajukan permintaan ke Dewan Konstitusi Prancis untuk meninjau kembali keabsahan kebijakan tersebut. Mereka berpendapat bahwa langkah pemerintah tidak hanya sembrono, tetapi juga inkonstitusional.
Menteri Lingkungan pun kini berada di bawah tekanan besar. Beberapa kalangan menyebut terjadi konflik internal dalam kabinet, terutama antara Kementerian Pertanian dan Kementerian Lingkungan Hidup, yang masing-masing memiliki pendekatan berbeda terhadap isu pertanian dan ekologi.
Baca juga : Kerusuhan Limoges Prancis: Polisi Bentrok dengan Perusuh
Di tengah situasi ini, parlemen Prancis membentuk panitia khusus untuk mengevaluasi ulang Duplomb law pesticide provision dalam waktu 60 hari. Panitia ini akan mengumpulkan pendapat dari ilmuwan, petani, dokter, serta aktivis lingkungan untuk mencari titik temu antara produktivitas dan keberlanjutan.
Polemik terkait Duplomb law pesticide provision menunjukkan betapa kompleksnya pertarungan antara kepentingan ekonomi dan kelestarian lingkungan. Ketika tekanan produksi pangan meningkat, pemerintah cenderung mengambil langkah pragmatis yang berisiko menabrak prinsip kehati-hatian. Namun reaksi keras publik dan dunia ilmiah membuktikan bahwa masyarakat kini semakin sadar akan pentingnya pertanian yang berkelanjutan. Masa depan kebijakan ini sangat bergantung pada hasil evaluasi parlemen dan tekanan publik yang terus bergulir. Jika aspirasi masyarakat diabaikan, bukan tak mungkin kepercayaan terhadap institusi pembuat kebijakan akan terguncang secara luas di Prancis dan Eropa.