Krisis Politik Prancis masih berlanjut setelah pengunduran diri Perdana Menteri Sébastien Lecornu dan ketidakmampuan parlemen mencapai kesepakatan anggaran. Presiden Emmanuel Macron kini dihadapkan pada dilema: membentuk pemerintahan baru dengan dukungan lintas partai atau memicu pemilu dini yang berisiko memperkuat oposisi sayap kanan. Perdebatan sengit mewarnai Majelis Nasional, sementara rakyat mulai menuntut stabilitas.

Dalam wawancara eksklusif dengan France24, sejumlah analis menilai peluang kompromi tetap terbuka. Jalur teknokrat, pemerintahan konsensus, atau model kerja sama terbatas menjadi opsi realistis. Langkah itu bisa menahan gelombang ketidakpastian yang mulai memengaruhi kepercayaan pasar dan posisi Prancis di Uni Eropa. Bagi Macron, mempertahankan kontinuitas kebijakan tanpa kehilangan legitimasi menjadi prioritas utama. Oleh karena itu, Krisis Politik Prancis disebut belum mencapai titik akhir, melainkan memasuki fase negosiasi yang krusial.

Potensi Jalan Keluar dari Kebuntuan

Opsi pertama yang paling banyak dibahas adalah pembentukan pemerintahan teknokrat sementara yang fokus pada penyusunan dan pengesahan Anggaran Negara 2026. Pemerintah jenis ini dipandang mampu bekerja cepat tanpa tekanan ideologi partai. Namun, sebagian kalangan khawatir langkah ini akan memperlemah akuntabilitas politik. Di sisi lain, Krisis Politik Prancis menunjukkan kebutuhan sistemik akan perubahan mekanisme parlemen agar koalisi minoritas bisa tetap menjalankan pemerintahan tanpa harus jatuh tiap kali voting anggaran gagal.

Alternatif kedua adalah skema kerja sama lintas blok melalui “confidence and supply agreement” di mana partai oposisi mendukung kebijakan tertentu tanpa bergabung dalam kabinet. Model ini pernah berhasil di beberapa negara Eropa lain. Dengan dukungan bersyarat, Macron bisa meloloskan agenda prioritas seperti reformasi fiskal dan energi, tanpa harus melakukan pemilu dini. Langkah ini juga diprediksi dapat menurunkan ketegangan publik. Namun, keberhasilan model ini sangat bergantung pada kepercayaan antarelite politik yang kini terkikis akibat Krisis Politik Prancis yang berlarut-larut.

Opsi terakhir yang masih di atas meja adalah pembubaran parlemen dan pemilu cepat. Namun, langkah ini dianggap berisiko tinggi karena survei menunjukkan partai sayap kanan Rassemblement National (RN) pimpinan Marine Le Pen berpotensi memenangkan suara signifikan. Situasi tersebut bisa memperburuk ketidakpastian ekonomi dan memicu polarisasi sosial yang lebih tajam. Para pakar menyebut, Krisis Politik Prancis bukan hanya soal siapa yang berkuasa, tapi juga tentang bagaimana negara mempertahankan stabilitas di tengah meningkatnya tekanan populis.

Dampak Ekonomi dan Persepsi Publik

Kebuntuan politik telah menekan indeks kepercayaan bisnis dan konsumen di Prancis. Bursa Paris sempat mengalami fluktuasi setelah berita pengunduran diri perdana menteri, sementara imbal hasil obligasi naik karena pasar menilai risiko ketidakpastian fiskal meningkat. Di sektor publik, penundaan pengesahan anggaran menyebabkan keterlambatan program sosial dan infrastruktur. Bagi kalangan menengah, ketidakjelasan arah kebijakan memunculkan kekhawatiran akan reformasi pajak yang tertunda. Kondisi ini mempertegas dampak nyata Krisis Politik Prancis terhadap ekonomi domestik.

Sementara itu, persepsi publik terhadap pemerintah semakin kritis. Survei menunjukkan tingkat kepuasan terhadap Macron menurun, meski sebagian besar responden menolak opsi pemilu cepat karena lelah dengan ketidakpastian politik. Media nasional menyoroti bagaimana krisis ini menantang struktur demokrasi semi-presidensial Prancis yang bergantung pada keseimbangan kekuasaan antara presiden dan parlemen. Akademisi menilai, Krisis Politik Prancis menjadi cermin dari keterbatasan model politik yang terlalu terpusat pada figur, bukan pada kelembagaan.

Di kancah internasional, Prancis menghadapi tekanan untuk menjaga perannya di Eropa. Mitra seperti Jerman dan Italia khawatir stagnasi politik di Paris bisa menghambat koordinasi kebijakan fiskal dan pertahanan. Dalam forum Uni Eropa, Prancis diharapkan menjadi jangkar stabilitas, terutama di tengah ketegangan global. Namun selama Krisis Politik Prancis belum terselesaikan, kemampuan negara itu untuk memimpin inisiatif strategis akan terbatas.

Langkah berikutnya yang ditunggu adalah penunjukan perdana menteri baru yang dianggap mampu merajut kompromi. Nama-nama seperti mantan Menteri Keuangan Bruno Le Maire dan diplomat senior Élisabeth Guigou disebut sebagai kandidat potensial. Figur yang dipilih harus bisa diterima oleh berbagai kubu politik, memiliki kredibilitas ekonomi, serta sanggup menjaga komunikasi lintas partai. Penunjukan ini diharapkan menjadi awal pemulihan dari Krisis Politik Prancis yang telah memunculkan kelelahan politik di masyarakat.

Baca juga : Turbulensi Politik Prancis dan Empat Skenarionya

Namun, tantangan terbesar justru datang setelah kabinet terbentuk. Pemerintah baru harus menyiapkan strategi anggaran yang realistis sambil menjaga defisit tetap terkendali di bawah 3% PDB sesuai ketentuan Uni Eropa. Reformasi subsidi energi, kebijakan pensiun, dan investasi hijau menjadi prioritas yang sulit dinegosiasikan. Di sisi lain, Krisis Politik Prancis menuntut pembenahan komunikasi publik agar masyarakat merasa dilibatkan, bukan hanya menjadi penonton dari drama politik elit.

Dalam jangka panjang, keberhasilan menyelesaikan kebuntuan ini akan menentukan kredibilitas sistem politik Prancis. Jika kompromi tercapai tanpa mengorbankan prinsip demokrasi, negara ini bisa menjadi contoh transisi yang matang di tengah tekanan populisme Eropa. Namun bila gagal, Prancis berisiko terperosok ke siklus krisis kepercayaan yang lebih dalam. Dengan demikian, Krisis Politik Prancis bukan hanya soal pembentukan pemerintahan baru, melainkan ujian bagi daya tahan demokrasi dan arah masa depan Eropa.