
Larangan Visa AS terhadap Thierry Breton memicu reaksi keras dari Paris setelah Washington membatasi akses masuk bagi mantan Komisaris Uni Eropa itu pada Desember 2025. Kebijakan ini muncul saat perdebatan pengaturan platform digital dan disinformasi memanas di kedua sisi Atlantik. Pemerintah Prancis menilai langkah tersebut berlebihan dan berisiko mengganggu hubungan transatlantik ekonomi dan keamanan. Breton dikenal vokal mendorong penegakan aturan layanan digital di Eropa dan bersuara soal akuntabilitas platform.
Presiden Emmanuel Macron menyebut keputusan Amerika Serikat sebagai intimidasi yang menyasar kedaulatan regulasi Eropa. Komisi Eropa meminta penjelasan, sementara sejumlah pejabat menilai respons diplomatik dapat disiapkan bila polemik berlanjut hingga awal 2026 nanti. Di Washington, argumen utamanya adalah melindungi kebebasan berekspresi warga AS dari tekanan penyensoran pihak asing. Perbedaan pendekatan itu membuat Larangan Visa AS berubah menjadi isu politik yang melampaui urusan teknis.
Larangan Visa AS terhadap mantan pejabat UE memicu kecaman Prancis dan UE, menyorot sengketa regulasi platform dan kebebasan berekspresi. Sorotan kemudian mengarah pada Digital Services Act yang mewajibkan platform besar menekan konten ilegal dan mengelola risiko sistemik. Pemerintah AS khawatir penegakan bisa membatasi opini yang legal, sedangkan Eropa menegaskan aturan dibuat untuk melindungi pengguna dan transparansi. Dalam konteks ini, Larangan Visa AS menjadi ujian memisahkan sengketa regulasi dari kerja sama strategis antarsekutu. Pengamat menilai dialog tingkat tinggi diperlukan agar standar, kewenangan, dan jalur penyelesaian sengketa lebih jelas.
Table of Contents
Daftar Nama dan Alasan yang Disorot Washington
Selain Thierry Breton, pembatasan visa disebut menyasar beberapa tokoh dari berbagai negara Eropa yang aktif mengampanyekan penanganan ujaran kebencian dan disinformasi. Pemerintah AS menilai mereka berupaya memaksa platform berbasis Amerika untuk menyensor, mendemonetisasi, atau menekan pandangan warga Amerika dengan tekanan kebijakan secara langsung. Narasi ini menempatkan Larangan Visa AS sebagai tindakan perlindungan domestik yang dikaitkan dengan kepentingan kebijakan luar negeri. Pernyataan resmi menekankan bahwa kebijakan tersebut tidak ditujukan pada regulasi Eropa secara umum, melainkan pada individu yang dianggap mendorong pembatasan secara koersif.
Sejumlah nama yang beredar berasal dari organisasi advokasi yang kerap meneliti arus disinformasi, pendanaan konten ekstrem, dan dampak kampanye kebencian lintas platform dalam beberapa tahun terakhir. Di Eropa, mereka dipandang sebagai mitra masyarakat sipil yang membantu pemerintah memahami pola penyebaran konten berbahaya dan jaringan penyebarnya. Di AS, kritiknya berfokus pada metode penilaian yang dianggap memberi label negatif pada media atau akun tertentu sehingga berdampak pada monetisasi. Perbedaan persepsi ini membuat Larangan Visa AS langsung dibaca sebagai konflik nilai antara kebebasan berekspresi dan kewajiban perlindungan publik.
Para pendukung kebijakan AS menilai langkah itu memberi sinyal bahwa Washington akan menolak tekanan asing yang menyasar perusahaan teknologinya. Sementara itu, pihak yang menolak mengingatkan bahwa persoalan ini bisa menghambat kerja sama lintas negara untuk menghadapi operasi informasi yang semakin canggih. Beberapa analis menilai polemik justru memperlihatkan kebutuhan forum bersama yang menyepakati definisi disinformasi, ambang batas penegakan, dan mekanisme banding yang transparan. Tanpa itu, Larangan Visa AS berisiko memicu efek dingin yang membuat dialog teknis berubah menjadi adu pernyataan politik di ruang publik.
Sikap Prancis dan Uni Eropa di Tengah Sengketa DSA
Prancis menegaskan pengaturan ruang digital adalah hak berdaulat yang dijalankan melalui mandat demokratis dan kerangka hukum Uni Eropa. Paris menyebut kebijakan visa tersebut tidak berdasar dan dapat mengganggu upaya kolektif memerangi konten ilegal, penipuan daring, materi kekerasan seksual anak, serta propaganda yang menargetkan masyarakat. Komisi Eropa menyatakan akan meminta klarifikasi dengan kanal komunikasi resmi dan menilai respons cepat diperlukan agar tindakan sepihak tidak menjadi preseden. Dalam komunikasi publiknya, Larangan Visa AS dipandang sebagai upaya mengintervensi cara Eropa menegakkan aturan internal.
Di sisi lain, kubu Amerika menilai DSA berpotensi menimbulkan kewajiban moderasi yang terlalu luas bagi platform besar yang banyak berbasis di AS, terutama jika penegakan menekan konten yang legal tetapi kontroversial. Eropa membalas dengan menekankan bahwa DSA berfokus pada kewajiban proses, audit risiko, serta penanganan konten ilegal, bukan memilih opini politik tertentu. Perdebatan ini memunculkan pertanyaan tentang siapa yang berwenang menetapkan standar global ketika layanan digital melintasi batas negara. Bagi investor dan industri, pembatasan visa tersebut menambah ketidakpastian karena memperlihatkan bahwa perselisihan regulasi dapat berdampak langsung pada hubungan antarnegara.
Diplomat Eropa juga mengingatkan bahwa ketegangan dapat menghambat agenda bersama, mulai dari keamanan siber, perlindungan data, hingga kerja sama penegakan hukum lintas yurisdiksi. Pada saat yang sama, sebagian pihak di Eropa menyerukan penegakan DSA tetap konsisten agar kebijakan tidak terlihat mudah ditekan. Langkah yang mungkin ditempuh termasuk pembicaraan bilateral, koordinasi di forum G7, hingga penegasan komitmen pada mekanisme penyelesaian sengketa. Jika eskalasi berlanjut, Larangan Visa AS dapat mendorong Eropa mempercepat strategi otonomi digital, termasuk penguatan kapasitas pengawasan dan penataan pasar platform.
Dampak ke Relasi Transatlantik dan Jalan Keluar
Ketegangan ini terjadi ketika Eropa dan Amerika Serikat masih membutuhkan koordinasi erat menghadapi konflik global, krisis energi, dan persaingan teknologi dengan negara lain. Karena itu, banyak pihak menilai eskalasi terkait platform digital sebaiknya tidak merembet ke isu pertahanan, bantuan keamanan, atau perdagangan yang menyangkut rantai pasok semikonduktor dan komputasi awan. Namun, Larangan Visa AS menciptakan simbol politik yang mudah digunakan dalam perdebatan domestik, baik di Eropa maupun di Amerika, terutama saat publik sensitif pada isu sensor.
Jika tidak dikelola, simbol semacam ini bisa mempersempit ruang kompromi dan membuat setiap pihak bertahan pada posisi maksimal di meja negosiasi. Sejumlah pengamat menilai jalur keluarnya adalah menyepakati prinsip bersama, yakni transparansi moderasi, hak banding yang jelas, dan pemisahan antara konten ilegal dengan konten yang hanya tidak disukai. Kerja sama teknis bisa difokuskan pada standar audit risiko, kewajiban laporan transparansi yang sebanding, pembukaan data untuk peneliti independen, serta perlindungan kebebasan berekspresi tanpa mengabaikan keselamatan pengguna.
Baca juga : Prancis Jerman Aset Rusia Picu Retak Solidaritas Uni Eropa
Di tingkat politik, pertemuan pemimpin dan dialog regulator dapat meredakan mispersepsi, termasuk menjelaskan batas kewenangan lembaga Eropa terhadap perusahaan asing dan memastikan proses penegakan mengikuti due process. Dalam skema ini, Larangan Visa AS berpotensi menjadi pemicu pembenahan mekanisme komunikasi krisis, sehingga perbedaan aturan tidak langsung dibaca sebagai serangan terhadap nilai dasar. Kebijakan visa juga memunculkan dimensi hukum karena sebagian pihak menilai pembatasan terhadap aktivis dapat dipersoalkan di pengadilan, khususnya ketika ada dampak pada pekerjaan dan reputasi.
Perkembangan proses hukum, termasuk putusan sementara yang membatasi langkah pemerintah terhadap salah satu individu, memperlihatkan bahwa isu kebebasan berekspresi bisa berbalik menantang kebijakan administratif. Di Eropa, respons yang paling mungkin adalah memperkuat diplomasi, meminta penjelasan tertulis dalam beberapa pekan ke depan ini, dan menghindari pembalasan yang memperdalam spiral retaliasi. Pada akhirnya, kebijakan itu akan dinilai dari apakah ia mendorong dialog yang lebih jelas atau justru menambah polarisasi di ruang digital dan hubungan antarsekutu.
