Lonjakan konten AI eksploitasi anak makin mengkhawatirkan. Lembaga advokasi dan aparat hukum global mendesak regulasi dan teknologi penanggulangan. Konten AI eksploitasi anak mengalami peningkatan tajam dalam beberapa bulan terakhir dan kini menjadi perhatian serius bagi organisasi perlindungan anak, penegak hukum internasional, serta komunitas teknologi. Di tengah kemajuan pesat kecerdasan buatan generatif, muncul fenomena disturbing: gambar dan video eksploitasi seksual anak yang dibuat sepenuhnya oleh AI, namun terlihat sangat nyata.

Laporan dari Le Monde menyebutkan bahwa kelompok advokasi di Eropa dan Amerika telah mengamati ribuan gambar semacam ini yang beredar di platform gelap. Kekhawatiran utama bukan hanya pada penyebaran konten, tetapi juga dampaknya dalam memperkuat pasar kekerasan seksual digital dan memperumit upaya perlindungan anak.

Teknologi AI Jadi Senjata Ganda

Seiring berkembangnya teknologi generatif seperti deepfake dan image diffusion, banyak pelaku kejahatan siber mulai memanfaatkannya untuk membuat konten AI eksploitasi anak tanpa keterlibatan korban nyata. Namun, dampaknya tetap serius. Gambar-gambar tersebut tetap menggambarkan adegan eksplisit dan digunakan dalam komunitas online yang memperdagangkan materi ilegal.

Salah satu tantangan utama adalah deteksi. Karena konten dibuat oleh mesin, ia tidak memiliki metadata khas dari gambar asli atau bukti pelanggaran hukum konvensional. Beberapa lembaga, seperti Internet Watch Foundation (IWF) dan Europol, melaporkan bahwa alat pelacak lama tak lagi efektif mendeteksi konten semacam ini.

IWF, dalam pernyataannya, menyebut ada lebih dari 3.000 gambar dan klip yang dicurigai sebagai konten AI eksploitasi anak yang muncul hanya dalam kuartal pertama 2025. Data ini belum termasuk ribuan gambar lain yang diyakini belum ditemukan karena tersembunyi dalam platform berlapis enkripsi.

Seruan untuk Regulasi dan Aksi Global

Ketika publik dan regulator masih berkutat dengan moderasi konten biasa, teknologi ini melangkah terlalu cepat. Inggris dan Prancis menjadi dua negara pertama di Eropa yang secara terbuka menyuarakan perlunya pembaruan hukum yang mencakup larangan terhadap produksi dan penyebaran konten AI eksploitasi anak.

Beberapa negara bahkan mempertimbangkan untuk menegaskan bahwa bahkan konten yang tidak melibatkan anak nyata tetap masuk dalam kategori ilegal jika unsur eksploitasi seksual anak hadir di dalamnya. Argumen moral dan sosial menekankan bahwa konten semacam ini tetap mendukung pasar kekerasan dan berpotensi menormalisasi tindakan yang melanggar hukum.

Di Amerika Serikat, lembaga seperti National Center for Missing & Exploited Children (NCMEC) juga mengakui peningkatan laporan yang berkaitan dengan konten berbasis AI. Mereka menyatakan bahwa teknologi pengidentifikasi wajah dan penelusuran digital tidak lagi mencukupi. Mereka menyerukan keterlibatan perusahaan teknologi besar seperti OpenAI, Meta, dan Google untuk membuat sistem AI pendeteksi konten eksploitasi secara otomatis.

Kasus terbaru bahkan menunjukkan bahwa pelaku dapat menciptakan karakter anak-anak imajiner dan memasukkannya ke dalam video 3D yang sangat meyakinkan. Dalam beberapa kasus, video tersebut dibuat dalam bahasa lokal dan disebarkan dalam komunitas berbasis negara tertentu. Ini membuat konten AI eksploitasi anak menjadi ancaman global yang bisa muncul di mana saja.

Tantangan Etis dan Teknologi

Selain aspek hukum, isu ini juga mencuatkan perdebatan etis. Apakah pembuatan konten berbasis fiksi oleh AI termasuk pelanggaran HAM? Sebagian ahli menilai bahwa, walau tanpa korban nyata, tindakan ini tetap menormalisasi eksploitasi anak dan menciptakan ruang kebebasan bagi predator seksual.

Teknologi pemalsuan gambar kini tak hanya digunakan untuk keperluan hiburan, tetapi juga sebagai alat kejahatan digital. Penggunaan open-source model image generator menjadi sorotan karena membuka jalan bagi siapa pun untuk membuat konten tanpa batas. Dalam konteks ini, muncul dorongan untuk membatasi akses publik terhadap model generatif dan mengintegrasikan sistem filter yang secara otomatis menolak pembuatan konten seksual anak.

Kepala IWF, Susie Hargreaves, menyatakan bahwa dunia menghadapi tantangan eksistensial: “Jika kita tidak bertindak sekarang, konten AI eksploitasi anak akan menjadi senjata digital yang tersebar bebas tanpa kontrol.”

Baca juga : Menteri Kebudayaan Prancis Disidang Kasus Korupsi

Demi melawan ancaman ini, komunitas internasional mulai membentuk aliansi lintas negara. Eropa dan ASEAN sedang menyusun kerangka kerja bersama untuk mengidentifikasi, menghapus, dan memblokir konten berbasis AI yang mengandung eksploitasi anak. Sementara itu, Interpol mengembangkan jaringan pelaporan cepat bagi pengguna yang menemukan konten mencurigakan di dunia maya.

Meski perjuangan masih panjang, kesadaran publik terhadap isu ini menunjukkan tren positif. Dengan keterlibatan pemerintah, perusahaan teknologi, dan masyarakat sipil, diharapkan konten AI eksploitasi anak dapat ditekan dan dihapus dari ranah digital secepat mungkin.