
Macron gugat Candace Owens secara resmi setelah beredarnya tuduhan bahwa Brigitte Macron, istri Presiden Prancis, adalah seorang pria. Klaim tersebut dilontarkan oleh Candace Owens, tokoh sayap kanan konservatif asal Amerika Serikat, dalam serangkaian podcast yang menyebar luas di media sosial. Gugatan hukum tersebut diajukan langsung ke Pengadilan Superior di negara bagian Delaware, AS.
Gugatan ini menarik perhatian dunia karena melibatkan kepala negara aktif yang menuntut warga sipil dari negara lain atas pencemaran nama baik. Dalam dokumen sepanjang lebih dari 200 halaman, pihak Macron menyatakan bahwa Owens menyebarkan narasi palsu dengan niat merusak reputasi pribadi dan politik Presiden Prancis serta istrinya.
Melalui podcast bertajuk Becoming Brigitte, Owens menuduh Brigitte Macron sebagai transgender dan menyebut Emmanuel Macron menikahi saudara kandungnya sendiri. Tak hanya itu, Owens bahkan menyampaikan teori konspirasi bahwa Emmanuel Macron merupakan produk eksperimen psikologis yang didalangi CIA. Akibatnya, Macron gugat Candace Owens karena merasa batas kewajaran telah dilampaui dan pencemaran nama baik ini membawa dampak serius secara pribadi dan politik.
Table of Contents
Klaim Fitnah hingga Pengaruh Global
Macron gugat Candace Owens setelah tiga kali memberikan peringatan melalui surat resmi sejak Desember 2024 yang tidak direspons. Tim pengacara keluarga Macron menilai Owens tidak hanya menyebarkan kebohongan, tapi juga mengabaikan hak asasi individu atas privasi dan kehormatan. Tuduhan itu dianggap sebagai serangan terhadap institusi kepresidenan Prancis.
Secara hukum, gugatan ini membawa muatan penting. Macron menuduh Owens atas delapan pelanggaran hukum termasuk defamasi, gangguan emosional yang disengaja, dan penyebaran informasi yang bersifat merusak reputasi. Mereka juga meminta sidang juri dan kompensasi dalam bentuk ganti rugi.
Respons Owens terhadap gugatan ini mengundang reaksi beragam. Dalam salah satu pernyataan publiknya, ia menyebut bahwa pernyataan dalam podcast adalah “opini pribadi” dan dilindungi oleh Amandemen Pertama Konstitusi AS tentang kebebasan berbicara. Namun pengacara Macron membantah argumen tersebut dan menegaskan bahwa yang dipersoalkan adalah fakta palsu, bukan opini.
Kasus ini memicu gelombang perbincangan luas di media internasional. Macron gugat Candace Owens bukan semata-mata untuk membersihkan nama, tapi juga untuk memberikan pesan bahwa penyebaran hoaks digital tidak dapat ditoleransi lagi. Banyak pengamat melihat ini sebagai langkah penting dalam membangun batasan baru antara kebebasan berbicara dan tanggung jawab hukum di era media sosial.
Regulasi Hoaks dan Tantangan Transnasional
Dampak dari kasus ini menyentuh banyak ranah, mulai dari hubungan diplomatik, kebijakan media sosial, hingga etika jurnalistik. Gugatan ini dapat menjadi preseden hukum transnasional yang memungkinkan tokoh publik dari satu negara menggugat pelaku fitnah digital di negara lain, khususnya jika kontennya berdampak lintas batas.
Macron gugat Candace Owens dianggap sebagai upaya mengubah pendekatan dunia terhadap penyebaran disinformasi. Pemerintah Prancis bahkan dikabarkan tengah mendorong kebijakan baru di Uni Eropa untuk mengatur platform seperti YouTube, X (dulu Twitter), dan Spotify agar lebih bertanggung jawab dalam mengendalikan konten hoaks.
Reaksi di dalam negeri Prancis cukup positif. Banyak tokoh politik, media, dan warga biasa menunjukkan dukungan terhadap Macron, menganggap gugatan ini sebagai langkah melindungi martabat institusi negara. Di sisi lain, pendukung Owens menganggap gugatan ini berlebihan dan sebagai upaya membungkam kritik terhadap pemimpin dunia.
Meskipun proses hukum masih berjalan, Macron gugat Candace Owens telah memberikan dampak besar. Sejumlah konten terkait telah dihapus dari platform digital, sementara banyak pihak kini meninjau ulang batas antara kritik dan fitnah.
Baca juga : Brigitte Macron Rumor Gender, Langkah Hukum Berlanjut
Jika Macron memenangkan gugatan ini, maka ini akan membuka jalan bagi regulasi internasional terhadap konten digital yang melampaui batas etika dan hukum. Banyak negara demokrasi, termasuk di Eropa, saat ini tengah merumuskan aturan ketat terhadap penyebaran disinformasi—dan kasus ini menjadi bukti nyata urgensi tersebut.
Pengadilan akan segera menggelar sidang pendahuluan, dan dunia akan menyimak dengan seksama arah perkembangan kasus ini. Macron gugat Candace Owens tidak hanya menyangkut reputasi pribadi, tetapi juga menguji seberapa jauh dunia bersedia membela kebenaran di tengah arus deras informasi digital.