
Militer Mali gagalkan upaya kudeta Mali, menangkap dua jenderal dan agen Prancis yang diduga terlibat rencana penggulingan pemerintah. Menteri Keamanan Mali, Jenderal Daoud Aly Mohammedine, menyampaikan bahwa operasi ini menjadi bukti kesigapan aparat dalam melindungi kedaulatan negara dari ancaman internal maupun campur tangan asing.
Penangkapan ini menghebohkan publik Mali karena salah satu jenderal yang ditahan, Abass Dembélé, dikenal kritis terhadap kebijakan pemerintah. Ia pernah menjabat sebagai gubernur wilayah Mopti sebelum dicopot akibat pernyataan yang memicu kontroversi, termasuk desakannya untuk mengusut dugaan pelanggaran HAM di Diafarabé. Sementara itu, Jenderal Néma Sagara memiliki reputasi sebagai tokoh militer senior yang berpengaruh, terutama sejak konflik bersenjata 2012.
Selain kedua jenderal tersebut, seorang warga negara Prancis bernama Yann Vezilier juga ditangkap. Ia dituduh bertindak atas perintah dinas intelijen Prancis untuk mengatur jaringan sipil dan militer yang bertujuan menggulingkan pemerintahan yang sah. Pemerintah Mali menilai penangkapan ini sebagai langkah strategis untuk mencegah terjadinya kekacauan politik yang berpotensi melemahkan stabilitas nasional.
Table of Contents
Latar Belakang Upaya Kudeta Mali dan Faktor Pemicu
Kabar upaya kudeta Mali bukanlah hal baru di negara ini. Mali telah mengalami serangkaian pergolakan politik, termasuk dua kudeta militer dalam dekade terakhir. Ketidakpuasan masyarakat terhadap junta, yang memperpanjang masa transisi hingga lima tahun, memicu kecurigaan bahwa peluang bagi oposisi untuk kembali berkuasa semakin sempit. Kondisi ini diperburuk oleh pengetatan kebebasan sipil, di mana kritik terhadap pemerintah kerap dibungkam melalui intimidasi dan penangkapan tokoh oposisi.
Protes pro-demokrasi yang terjadi pada Mei lalu menjadi salah satu titik balik ketegangan politik. Demonstrasi yang jarang terjadi tersebut dianggap sebagai ancaman langsung terhadap pemerintahan Presiden Assimi Goïta. Di tengah situasi ini, keterlibatan figur militer senior dan agen asing semakin memperkuat narasi pemerintah bahwa upaya kudeta Mali merupakan hasil kolaborasi pihak internal dan eksternal yang ingin mengubah arah politik negara.
Faktor lain yang memicu eskalasi adalah hubungan yang semakin memburuk antara Mali dan Prancis sejak penarikan pasukan Prancis pada 2022. Pemerintah Mali justru mempererat kerja sama militer dengan Rusia, memicu ketegangan diplomatik dengan negara-negara Barat. Keberadaan agen intelijen asing di tengah gejolak politik membuat pemerintah semakin yakin akan adanya skenario besar untuk melemahkan kekuasaan yang sedang berjalan.
Dampak Penangkapan dan Implikasi Politik
Penangkapan tiga tokoh kunci yang terlibat dalam upaya kudeta Mali memiliki dampak besar, baik secara domestik maupun internasional. Di dalam negeri, junta menggunakan momentum ini untuk menunjukkan bahwa mereka mampu menjaga keamanan negara. Pesan yang ingin disampaikan kepada publik adalah bahwa tidak ada ruang bagi pengkhianatan, apalagi jika melibatkan aktor asing. Namun, sejumlah pengamat menilai penangkapan ini juga bisa menjadi cara pemerintah untuk menyingkirkan lawan politik yang berpotensi mengancam kekuasaan mereka.
Secara internasional, insiden ini memperburuk hubungan Mali dengan Prancis. Pemerintah di Bamako menuduh Prancis masih mencoba memengaruhi arah kebijakan Mali meski hubungan resmi kedua negara sudah renggang. Tuduhan tersebut tentu dibantah oleh pihak Prancis, namun kasus ini dapat menjadi alasan bagi Mali untuk semakin menjauh dari orbit politik Barat. Sebaliknya, hal ini memberi peluang bagi Rusia untuk memperkuat posisinya sebagai mitra strategis Mali di bidang pertahanan.
Selain dampak politik, kasus upaya kudeta Mali juga berdampak pada persepsi keamanan di kawasan Afrika Barat. Negara-negara tetangga yang tergabung dalam ECOWAS mencermati situasi ini dengan waspada, mengingat Mali sebelumnya sempat keluar dari organisasi tersebut. Kestabilan Mali sangat penting bagi keamanan regional, terutama karena ancaman terorisme dan konflik etnis masih menjadi masalah yang belum terselesaikan.
Ke depan, tantangan terbesar pemerintah Mali adalah memastikan bahwa insiden upaya kudeta Mali tidak memicu ketidakstabilan politik yang lebih besar. Pemerintah perlu menyeimbangkan langkah keamanan dengan upaya rekonsiliasi nasional agar ketegangan antara militer, oposisi, dan masyarakat sipil tidak semakin melebar.
Baca juga : Indonesia Hormati Putusan Parole Serge Atlaoui oleh Prancis
Penguatan sektor keamanan, terutama intelijen domestik, akan menjadi prioritas untuk mendeteksi potensi ancaman serupa di masa mendatang. Namun, di saat yang sama, pemerintah juga dituntut untuk membangun kepercayaan publik dengan mengedepankan transparansi dalam proses hukum terhadap para tersangka. Tanpa itu, penangkapan ini dapat dipandang sebagai sekadar alat politik untuk mempertahankan kekuasaan.
Dalam konteks geopolitik, Mali kemungkinan akan semakin mengandalkan kemitraan dengan Rusia dan negara-negara non-Barat lainnya sebagai bentuk perlawanan terhadap tekanan internasional. Namun, hal ini juga bisa memicu isolasi diplomatik yang berdampak pada perekonomian dan hubungan dagang. Oleh karena itu, keberhasilan pemerintah dalam mengelola situasi pasca upaya kudeta Mali akan sangat menentukan arah masa depan negara ini, baik secara internal maupun di mata dunia.