
Film pendek #PARADISE karya Samuel Bollendorff kembali mengangkat pertanyaan lama dalam bingkai baru: sampai di mana manusia mengandalkan mistisisme hadapi bencana untuk bertahan secara psikologis ketika alam menjadi ekstrem? Lewat narasi dokumenter yang puitik, karya ini mempertemukan arsip kebakaran hutan, banjir, dan badai dengan suara para penyintas yang mencari makna. Alih-alih menggurui, film menyorot detail kecil—foto keluarga yang basah, doa lirih di reruntuhan, dan tatapan yang menimbang harapan.
Dalam tradisi jurnalisme visual Prancis, #PARADISE memakai ritme lambat untuk menampung emosi yang sering tak tertangkap breaking news. Bollendorff mengajak penonton memikirkan ulang cara kita merespons krisis: kapan ritual memberi daya, kapan justru menjadi pelarian. Di titik ini, mistisisme hadapi bencana tidak ditempatkan sebagai dogma, tetapi sebagai bahasa yang dipakai komunitas untuk menamai ketakpastian. Bagi khalayak luas, film ini terasa relevan: perubahan iklim menaikkan frekuensi bencana, sementara ruang publik dijejali debat saintifik versus spiritual. #PARADISE mengajak kita menyeberangi keduanya—membiarkan data bekerja, namun tetap mengaku bahwa rasa kehilangan butuh cara diolah agar tidak membatu.
Table of Contents
Tema, Bahasa Visual, dan Kontroversi
#PARADISE menyusun tiga lapis tema. Pertama, kesedihan kolektif: kota yang terbakar, kampung yang terendam, sekolah yang sunyi. Kamera menempel pada wajah, bukan pada statistik, supaya penonton merasakan bobot hening setelah sirene padam. Kedua, praktik ritual: lilin, mantra, ziarah kecil di lokasi musibah. Di sini, mistisisme hadapi bencana hadir sebagai alat penyintas untuk memulihkan keterhubungan—pada sesama dan pada lanskap yang terluka. Ketiga, renungan politik: siapa yang paling terdampak, siapa yang punya pilihan pindah, siapa yang harus tinggal dan menata ulang hidupnya.
Bahasa visualnya apik: palet warna hangat–dingin dipakai kontras, efek suara dibuat minimal untuk memberi ruang bagi napas para narasumber. Namun, film juga memantik kontroversi. Sebagian kritikus khawatir estetisasi duka menggeser fokus dari akuntabilitas kebijakan. Bollendorff menanggapi dengan menekankan bahwa empati bukan antitesis advokasi; keduanya justru bertaut. Ketika mistisisme hadapi bencana muncul di layar, tujuannya bukan mengaburkan sains, melainkan menunjukkan cara orang awam menegakkan diri di tengah kehilangan. Pada saat yang sama, film menyisipkan isyarat teknis—peta, kronologi, dan bukti perubahan iklim—agar narasi tidak jatuh menjadi romantisasi. Ketegangan inilah yang membuat #PARADISE dibicarakan di festival dan ruang kelas komunikasi bencana.
Resonansi Sosial dan Pelajaran Kebijakan
Di luar ruang bioskop, #PARADISE menular ke diskusi kebijakan. Peneliti kebencanaan melihat peluang menjembatani respons berbasis sains dengan praktik komunitas. Ketika relawan datang membawa logistik, tokoh lokal kadang membawa doa dan ritual; film menunjukkan keduanya dapat berjalan beriringan. Di wilayah rawan, mistisisme hadapi bencana bisa menjadi pintu komunikasi—membuka telinga warga untuk menerima simulasi evakuasi, pelatihan early warning, dan tata ruang baru yang lebih aman.
Pelajaran lain adalah etika penceritaan. Media sering bergegas ketika sirene berbunyi, lalu hengkang saat lampu kamera padam. #PARADISE membalik kebiasaan itu: menunggu, merekam pemulihan pelan, dan menempatkan warga sebagai pemilik cerita. Pendekatan ini memberi ruang bagi trauma diproses tanpa eksploitasi. Bagi pemerintah, film mengisyaratkan pentingnya dukungan psikososial pascabencana—layanan konseling, ruang memorial, dan pendidikan kebencanaan yang menghormati adat setempat. Bila mistisisme hadapi bencana dipahami sebagai modal sosial, maka kebijakan publik bisa lebih peka: bukan hanya membangun tanggul dan hunian sementara, tetapi juga memperbaiki jaringan kepercayaan yang membuat warga berdaya saat sirene berikutnya berbunyi.
#PARADISE lahir di era banjir informasi, ketika gambar bencana berlomba mengejutkan. Bollendorff memilih jalan tengah: menukar sensasi dengan kedalaman. Ia mengajak jurnalis muda memelihara slow reporting—membaca dokumen, memetakan relasi kuasa, dan menempel pada komunitas setelah kamera lain pergi. Dalam lensa ini, mistisisme hadapi bencana bukan komoditas eksotis, tetapi konteks budaya yang layak dipahami agar pesan keselamatan tersampaikan.
Baca juga : Vineyards solidarise after wildfires di Prancis Selatan
Bagi aktivis iklim, film menegaskan pentingnya bahasa yang membumi. Angka suhu global mungkin terasa jauh; namun kisah seorang ibu yang kehilangan album foto dan memilih menyalakan lilin di puing rumahnya dapat menjembatani jarak abstraksi. Ketika warga merasa dihormati, mereka lebih terbuka pada rekomendasi ilmiah—meninggikan pondasi, menata jalur evakuasi, memindahkan fasilitas vital dari sempadan. Di kelas dan komunitas, pemutaran #PARADISE bisa diikuti lokakarya sederhana: membaca peta risiko, membuat rencana keluarga saat darurat, dan menulis memorial sebagai bagian dari healing. Dalam paket edukasi semacam itu, mistisisme hadapi bencana bekerja sebagai jembatan, sementara sains memberi arah.
Pada akhirnya, #PARADISE tidak menawarkan jawaban final. Ia mengundang kita menahan diri: tidak meremehkan doa, tidak pula menolak data. Jalan tengah ini relevan bagi pembuat kebijakan, jurnalis, pendidik, dan relawan. Ketika musim ekstrem makin sering, kita butuh ekosistem komunikasi yang memadukan empati, bukti, dan akuntabilitas. Itulah sebabnya gagasan mistisisme hadapi bencana akan terus muncul di ruang publik—sebagai cermin kerentanan dan ketahanan kita. Jika film semacam ini mendorong pemerintah menganggarkan layanan psikososial, mendorong media memperpanjang liputan, dan mendorong warga menyiapkan rencana darurat, maka seni telah menjalankan fungsinya: memberi bahasa pada yang sulit diucapkan, dan menyalakan kembali harapan di antara reruntuhan.