Karya unik bertajuk mosaik sampah Bali menjadi sorotan publik setelah seorang warga negara Prancis, Mickael Couturier, berhasil menyulap limbah pantai menjadi potret seni bernilai tinggi. Hampir setiap hari ia menyisir pantai di Bali, mengumpulkan sandal jepit, sepatu karet, hingga mainan yang terbawa arus laut. Limbah-limbah tersebut kemudian dipotong kecil berbentuk dadu sebelum disusun menjadi mosaik yang menggambarkan wajah anak-anak yang ia temui di sekitar Tempat Pembuangan Akhir (TPA) Suwung, Denpasar.

Tidak hanya menampilkan seni visual yang memukau, mosaik sampah Bali juga membawa pesan sosial yang kuat. Couturier melengkapi setiap karyanya dengan barcode yang ketika dipindai akan menampilkan animasi digital, seolah-olah potret tersebut “hidup” dan bercerita. Lebih jauh lagi, hasil penjualan karya didedikasikan untuk mendukung pendidikan anak-anak di sekitar TPA, yang sehari-hari hidup dekat dengan tumpukan sampah.

Kehadiran karya ini membuat isu kebersihan pantai tak lagi dipandang sebelah mata. Dengan sentuhan seni, pesan tentang bahaya sampah plastik bisa lebih mudah diterima oleh masyarakat, wisatawan, maupun komunitas lokal.

Proses Kreatif dan Pesan di Balik Mosaik Sampah Bali

Dalam proses kreatifnya, Mickael Couturier tidak sekadar mengumpulkan sampah untuk dijadikan karya. Ia terlebih dahulu melakukan observasi terhadap jenis limbah yang paling sering terdampar, seperti sandal jepit dan serpihan plastik berwarna. Dari sana, ia memilih warna dan tekstur yang tepat untuk menghasilkan komposisi visual menarik. Setiap potongan limbah dipotong berbentuk dadu kecil agar mudah disusun menjadi pola yang detail.

Karya mosaik sampah Bali umumnya berbentuk potret wajah anak-anak. Pemilihan tema ini bukan kebetulan. Bagi Couturier, wajah anak-anak merupakan simbol masa depan yang perlu dijaga dari ancaman pencemaran lingkungan. Dengan menampilkan ekspresi polos dan apa adanya, ia ingin menyampaikan pesan bahwa sampah yang diabaikan hari ini akan berdampak langsung pada generasi mendatang.

Tak hanya itu, karya mosaik sampah Bali juga dilengkapi dengan teknologi barcode. Saat penonton memindai kode tersebut, potret akan muncul dalam bentuk digital yang bergerak. Inovasi ini membuat karya tidak hanya berhenti di dinding galeri, tetapi juga hidup di layar ponsel, memperkuat pesan tentang keterhubungan antara seni, teknologi, dan aksi lingkungan.

Dengan cara ini, seni berhasil menjadi medium edukasi yang lebih inklusif, menjangkau berbagai kalangan tanpa batas ruang maupun usia.

Dampak Sosial dan Peran Edukasi Lingkungan

Lebih dari sekadar karya seni, mosaik sampah Bali memiliki dampak sosial yang nyata. Couturier mendonasikan sebagian besar hasil penjualan karyanya untuk kegiatan edukasi anak-anak di sekitar TPA Suwung. Program yang ia jalankan mencakup pemberian perlengkapan sekolah, pelatihan seni, hingga kegiatan bersih pantai bersama komunitas lokal.

Melalui pendekatan ini, anak-anak yang sehari-hari bersinggungan langsung dengan sampah didorong untuk melihat limbah dengan perspektif baru: sebagai sumber daya yang bisa diolah, bukan hanya sebagai masalah. Inisiatif ini membantu mengurangi stigma sosial terhadap anak-anak TPA sekaligus menanamkan kesadaran lingkungan sejak dini.

Selain itu, mosaik sampah Bali mendorong partisipasi publik yang lebih luas. Karya yang mudah dibagikan di media sosial membuat pesan lingkungan menyebar cepat, mengundang lebih banyak relawan untuk ikut serta dalam kegiatan bersih pantai. Tak sedikit wisatawan mancanegara yang tertarik berpartisipasi setelah melihat karya ini, menjadikan Bali bukan hanya destinasi wisata, tetapi juga pusat gerakan ekologi kreatif.

Dengan menggabungkan seni, edukasi, dan aksi sosial, karya ini memperlihatkan bagaimana satu inisiatif kecil dapat menghasilkan dampak yang berlapis-lapis bagi komunitas.

Fenomena yang melatarbelakangi lahirnya mosaik sampah Bali adalah persoalan “musim sampah” yang hampir setiap tahun melanda pesisir Pulau Dewata. Saat musim hujan dan angin barat, sampah dari laut dan aliran sungai menumpuk di pantai-pantai populer seperti Kuta, Seminyak, hingga Sanur. Pemandangan ini sering merusak citra pariwisata sekaligus mengganggu ekosistem laut.

Berbagai upaya telah dilakukan pemerintah daerah, mulai dari mengerahkan petugas kebersihan, melibatkan komunitas relawan, hingga merencanakan pemasangan barikade laut untuk menahan sampah sebelum mencapai garis pantai. Namun, fakta di lapangan menunjukkan bahwa volume sampah terus meningkat setiap tahun, didominasi oleh plastik sekali pakai.

Dalam konteks inilah, mosaik sampah Bali memiliki peran penting. Karya ini tidak menawarkan solusi teknis, tetapi solusi kultural: mengubah cara pandang masyarakat terhadap sampah. Dengan menjadikan limbah sebagai media seni, Couturier berhasil menciptakan narasi baru bahwa sampah memiliki nilai jika diolah kreatif. Narasi ini lebih mudah diterima publik dibanding sekadar kampanye larangan atau ajakan buang sampah pada tempatnya.

Baca juga : Salvini Kritik Macron Ukraina Picu Pemanggilan Dubes Italia

Ke depan, tantangan utama adalah menjaga keberlanjutan gerakan ini. Apakah mosaik sampah Bali bisa menginspirasi lebih banyak seniman lokal? Apakah karya ini dapat mendorong industri pariwisata untuk ikut ambil bagian dalam pengelolaan limbah? Jawabannya akan bergantung pada sejauh mana kolaborasi lintas sektor bisa dibangun.

Jika berhasil, mosaik ini bukan hanya akan dikenang sebagai karya seni, tetapi juga sebagai tonggak perubahan budaya dalam menyikapi masalah sampah di Bali.