Penolakan Duplomb Law memicu kritik luas. Chef ternama hingga petani protes legalisasi acetamiprid karena ancaman serius terhadap kesehatan dan lingkungan. Penolakan Duplomb Law menjadi isu nasional yang mencuat tajam di Prancis. Kebijakan yang kembali melegalkan penggunaan acetamiprid—pestisida yang sebelumnya dibatasi karena dampak negatif terhadap lingkungan dan kesehatan—memantik reaksi keras dari berbagai kalangan. Chef profesional, petani organik, ilmuwan, serta masyarakat sipil kini bersatu menyuarakan penolakan terhadap undang-undang yang mereka nilai tidak berpihak pada prinsip kehati-hatian dan keberlanjutan.

Acetamiprid, zat aktif dalam pestisida yang diperbolehkan kembali beredar akibat Duplomb Law, dikritik karena berpotensi mencemari ekosistem dan merusak populasi lebah. Lebah sebagai penyerbuk alami memiliki peran penting dalam rantai makanan dan keberlangsungan pertanian. Kembalinya pestisida ini dinilai sebagai bentuk kemunduran dalam perjuangan Prancis menuju sistem pangan yang lebih sehat dan ramah lingkungan. Oleh sebab itu, penolakan Duplomb Law muncul secara masif, tidak hanya dari kalangan aktivis lingkungan, tetapi juga dunia kuliner dan sains.

Gelombang Protes dari Dunia Kuliner dan Pertanian

Lebih dari 400 chef ternama, termasuk pemilik restoran berbintang Michelin, menandatangani surat terbuka berjudul “Kami Memberi Makan, Bukan Meracuni”. Dalam pernyataan bersama tersebut, para koki menyampaikan bahwa mereka menolak penggunaan bahan pangan yang mengandung residu pestisida beracun. Mereka juga menyatakan kekhawatiran bahwa keputusan pemerintah akan merusak reputasi gastronomi Prancis yang selama ini dikenal mengutamakan kualitas dan keamanan pangan.

Penolakan Duplomb Law memicu kritik luas. Chef ternama hingga petani protes legalisasi acetamiprid karena ancaman serius terhadap kesehatan dan lingkungan. Petani lokal yang telah bertahun-tahun beralih ke pertanian organik pun merasa terancam. Mereka khawatir pasar akan kembali didominasi oleh produk pertanian konvensional yang menggunakan pestisida, sehingga menekan harga dan membuat hasil pertanian berkelanjutan menjadi tidak kompetitif. Beberapa asosiasi pertanian bahkan menggelar aksi damai di depan gedung parlemen Paris untuk menyuarakan penolakan Duplomb Law serta menuntut perlindungan bagi petani kecil.

Di sisi lain, para ilmuwan lingkungan memperingatkan bahwa keputusan ini dapat mempercepat kerusakan biodiversitas. Banyak penelitian menyebutkan bahwa residu acetamiprid dapat bertahan lama di tanah dan air, mengganggu mikroorganisme serta meracuni serangga bermanfaat. Jika tidak dikendalikan, penggunaan pestisida ini akan menciptakan siklus ketergantungan pada bahan kimia yang sulit dihentikan.

Tak hanya itu, petisi online yang menolak pengesahan Duplomb Law telah ditandatangani lebih dari dua juta orang dalam waktu kurang dari satu bulan. Ini menunjukkan bahwa resistensi masyarakat terhadap regulasi tersebut sangat tinggi. Bahkan, sejumlah influencer dan selebritas Prancis turut menyuarakan dukungan terhadap gerakan penolakan Duplomb Law melalui media sosial dengan tagar #StopDuplombLaw.

Ketegangan Politik dan Seruan Evaluasi

Polemik ini tidak berhenti pada ranah sosial. Ketegangan juga mencuat di parlemen. Beberapa anggota dewan dari Partai Hijau dan oposisi mengajukan keberatan dan menyebut bahwa pengesahan undang-undang dilakukan terlalu cepat tanpa partisipasi publik yang cukup. Mereka menilai bahwa transparansi dan konsultasi ilmiah harus menjadi dasar dalam membuat kebijakan yang menyangkut kesehatan masyarakat.

Pemerintah sendiri berdalih bahwa legalisasi kembali acetamiprid adalah langkah darurat untuk melindungi hasil panen di tengah iklim ekstrem dan peningkatan hama. Namun alasan ini dianggap tak cukup kuat, mengingat masih banyak alternatif pengendalian hayati yang tersedia dan lebih aman.

Sebagai bentuk reaksi, sejumlah restoran besar kini mengumumkan komitmen untuk hanya menggunakan produk pertanian organik yang terbukti bebas dari bahan kimia berbahaya. Langkah ini tidak hanya menegaskan sikap etis mereka, tetapi juga menunjukkan bahwa dunia bisnis makanan tidak ingin terlibat dalam kebijakan yang menuai kritik publik.

Baca juga : Petition Reintroduce Pesticide Guncang Parlemen Prancis

Lembaga pengawas pangan juga mulai memperketat pengujian terhadap hasil panen yang beredar di pasar untuk mendeteksi keberadaan residu pestisida. Pemerintah didesak untuk menerapkan pelabelan yang jelas agar konsumen dapat mengetahui asal dan keamanan produk yang mereka konsumsi. Semua ini menjadi bukti bahwa penolakan Duplomb Law bukan sekadar sentimen emosional, melainkan gerakan yang dilandasi fakta ilmiah dan kekhawatiran nyata.

Kini, banyak pihak menunggu langkah selanjutnya dari pemerintah: apakah akan tetap bersikukuh atau membuka kembali ruang diskusi dengan masyarakat. Yang jelas, suara dari lapangan menunjukkan satu hal: masyarakat tidak ingin kembali ke era pertanian yang bergantung pada racun demi keuntungan jangka pendek.