Perancis dan Inggris kembali mengintensifkan kerja sama untuk menghentikan arus migrasi “Taxi Boat” ilegal yang melonjak tajam melintasi Kanal Inggris. Kali ini, keduanya mengajukan rencana kontroversial: memberi kewenangan kepada polisi Perancis untuk menghentikan perahu-perahu kecil migran—disebut sebagai “taxi boat”—bahkan ketika masih berada sejauh 300 meter dari garis pantai. Kebijakan ini disebut-sebut sebagai salah satu upaya paling agresif yang pernah diusulkan demi memerangi aktivitas penyelundupan manusia yang semakin terorganisir dan berbahaya.

Langkah ini muncul di tengah statistik penyeberangan yang terus mencetak rekor. Data terbaru menunjukkan hampir 20.000 migran telah menyeberangi Kanal Inggris menuju Inggris sepanjang tahun 2025 hingga awal Juli, meningkat hampir 50% dibanding periode yang sama tahun lalu. Cuaca musim panas yang lebih tenang turut memperbesar peluang keberhasilan penyeberangan, meski risiko tenggelam tetap mengintai setiap waktu.

Pemerintah Inggris di bawah kepemimpinan Perdana Menteri Keir Starmer berambisi menurunkan angka ini. Starmer berada dalam tekanan politik yang tinggi setelah Partai Reform UK pimpinan Nigel Farage menuding pemerintah terlalu lembek dan lamban mengatasi krisis migrasi. Farage bahkan menyerukan agar Angkatan Laut Kerajaan Inggris diturunkan untuk secara tegas menghalau kapal migran dan memaksa mereka kembali ke pantai Perancis.

Rencana Hentikan “Taxi Boat” Picu Pro-Kontra

Menteri Dalam Negeri Inggris menyatakan, salah satu kunci menghentikan arus migran adalah memutus mata rantai jaringan penyelundup manusia yang semakin canggih. Modus baru yang kini marak disebut “taxi boat,” yakni sistem antar jemput migran dengan perahu kecil ke titik-titik aman di pantai Perancis, sebelum migran dipindahkan ke kapal yang lebih besar untuk menyeberang ke Inggris. Dalam skema yang diusulkan, polisi Perancis akan diizinkan melakukan intervensi di laut, bukan hanya di daratan, demi menangkap pelaku penyelundupan sedini mungkin.

Namun, rencana ini menuai banyak keraguan, terutama dari pihak kepolisian Perancis sendiri. Julien Soir, perwakilan serikat polisi di wilayah Lille, menyebut operasi di laut sejauh 300 meter tidak realistis. Aparat di lapangan, katanya, saat ini bahkan kewalahan menjaga garis pantai sepanjang 180 kilometer yang rawan dijadikan titik keberangkatan migran.

“Kami tidak memiliki cukup personel, kapal, atau pelatihan khusus untuk operasi laut. Dan risiko hukum terhadap polisi yang melakukan intervensi di laut sangat besar. Siapa yang bertanggung jawab bila perahu migran terbalik atau orang-orang tenggelam?” ujar Julien Soir, seperti dikutip Reuters.

Baca Juga : Prancis Bersiap Tangkap Kapal Migran 300 Meter dari Pesisir

Selain itu, lembaga kemanusiaan seperti Utopia 56 memperingatkan bahwa kebijakan tersebut justru berpotensi meningkatkan jumlah korban jiwa. Penangkapan di laut, apalagi di jarak dekat pantai yang mungkin berarus kuat, bisa memicu kepanikan di atas perahu yang sudah kelebihan muatan. Banyak migran yang tidak bisa berenang atau memakai jaket pelampung memadai.

“Mereka tidak akan berhenti mencoba. Yang berubah hanyalah rute mereka menjadi makin berbahaya,” kata perwakilan Utopia 56.

Migran Tetap Gigih Mencoba

Terlepas dari kebijakan yang semakin ketat, banyak migran tetap bertekad menyeberang. Tim Reuters yang berada di kamp migran dekat Dunkirk mewawancarai Israrullah Lodin, seorang migran asal Afghanistan berusia 26 tahun, yang mengaku sudah tiga kali gagal menyeberang tetapi belum menyerah menggunakan Taxi Boat.

“We are not afraid to die,” kata Lodin.
“I have to reach my destination.”

Sementara itu, Nisarahmad Afghan, 23 tahun, juga berujar:

“Until I succeed, I will keep trying.”

Pernyataan mereka menggambarkan realitas keras di lapangan: keputusasaan yang memaksa ribuan orang mengambil risiko melintasi salah satu jalur laut tersibuk dan paling berbahaya di dunia.

Peter Walsh, analis Migration Observatory di Universitas Oxford, mengingatkan bahwa kebijakan penindakan seperti intervensi “taxi boat” mungkin akan sedikit mengurangi angka penyeberangan, tetapi tidak akan menyelesaikan masalah akar. Selama konflik di negara asal para migran tetap berlanjut, dan selama Inggris dianggap sebagai negara tujuan yang lebih menjanjikan, arus migrasi diperkirakan akan terus terjadi.

“Orang-orang akan selalu mencoba selagi mereka tidak melihat masa depan di negara asalnya,” kata Walsh.

Pemerintah Perancis dan Inggris berjanji akan melanjutkan dialog untuk mematangkan rencana ini. Namun banyak pihak menilai, solusi jangka panjang krisis migrasi tetap memerlukan pendekatan yang lebih komprehensif—mulai dari penanganan akar konflik Taxi Boat, kebijakan suaka yang lebih manusiawi, hingga pemberantasan jaringan penyelundupan manusia yang semakin terorganisir.