Lebih dari 40 ribu orang menandatangani petisi Tapestri Bayeux untuk menolak rencana pemerintah Prancis meminjamkan artefak abad ke-11 tersebut ke Inggris. Petisi ini muncul setelah Presiden Emmanuel Macron menyetujui peminjaman Tapestri Bayeux ke British Museum di London sebagai simbol diplomasi budaya antara kedua negara. Namun, penolakan kuat datang dari para ahli konservasi dan masyarakat yang khawatir kondisi kain berusia hampir seribu tahun itu semakin rapuh jika dipindahkan.

Tapestri Bayeux sendiri merupakan warisan sejarah yang menggambarkan penaklukan Norman atas Inggris tahun 1066. Dengan panjang sekitar 70 meter, kain sulaman ini sudah mengalami ribuan noda dan ribuan lubang akibat usia tua. Para pakar memperingatkan bahwa getaran dalam proses transportasi bisa menambah kerusakan pada artefak yang selama ini disimpan dengan pengawasan ketat di Museum Bayeux, Normandia.

Bagi masyarakat Prancis, petisi Tapestri Bayeux bukan hanya soal melindungi benda bersejarah, tetapi juga mempertahankan identitas nasional. Peminjaman dianggap mengabaikan peringatan konservator serta membuka peluang diplomasi budaya yang berisiko tinggi.

Kekhawatiran Publik dan Petisi Tapestri Bayeux

Gelombang dukungan terhadap petisi Tapestri Bayeux semakin besar karena alasan utama: kondisi fisik kain yang sangat rapuh. Laporan konservasi terbaru mencatat lebih dari 24 ribu noda dan 10 ribu lubang yang memperlihatkan betapa rentannya artefak ini terhadap kerusakan tambahan. Para pakar menilai, meski pengangkutan dilakukan dengan teknologi modern, getaran dan perubahan lingkungan tetap menimbulkan risiko signifikan.

Didier Rykner, sejarawan seni sekaligus pelopor petisi, menegaskan bahwa keputusan Macron mengabaikan suara konservator. Ia menilai pemindahan ini semata demi tujuan diplomatik, bukan kepentingan pelestarian. Menurutnya, menjaga Tapestri tetap di tempat asal adalah langkah paling aman demi generasi mendatang.

Selain kekhawatiran teknis, petisi Tapestri Bayeux juga memiliki dimensi emosional. Banyak warga Prancis merasa bahwa artefak tersebut adalah simbol warisan yang tak ternilai harganya. Peminjaman ke Inggris dianggap menyentuh rasa sensitif nasionalisme, mengingat hubungan sejarah panjang kedua negara yang penuh rivalitas.

Kritikus juga menyoroti kurangnya transparansi dalam pengambilan keputusan. Publik menilai, pemerintah seharusnya melakukan konsultasi lebih luas sebelum mengambil langkah berisiko tinggi. Dukungan petisi pun menjadi wadah protes sekaligus ekspresi kecintaan masyarakat terhadap warisan nasional yang berharga ini.

Diplomasi Budaya dan Kontroversi Peminjaman

Meski mendapat penolakan keras, pemerintah tetap beralasan bahwa peminjaman memiliki nilai diplomasi. Rencana pemindahan Tapestri ke London dipandang sebagai upaya mempererat hubungan Prancis–Inggris pasca Brexit. Macron menyebut peminjaman itu sebagai simbol kerja sama budaya yang langka dan bersejarah.

Namun, petisi Tapestri Bayeux menunjukkan sisi lain dari diplomasi budaya tersebut. Kritik menilai bahwa pemerintah menggunakan warisan budaya sebagai alat politik, tanpa memperhitungkan risiko konservasi. Banyak pihak berpendapat bahwa diplomasi seharusnya tidak dilakukan dengan mengorbankan artefak berusia hampir seribu tahun.

Di sisi Inggris, antusiasme tinggi muncul menyambut kemungkinan peminjaman. British Museum menyatakan siap menyiapkan fasilitas terbaik untuk menjaga Tapestri selama berada di London. Mereka menilai peminjaman ini akan mempererat hubungan kultural sekaligus memberi kesempatan publik Inggris melihat langsung warisan bersejarah.

Meski begitu, resistensi publik Prancis tetap kuat. Petisi Tapestri Bayeux menegaskan bahwa keamanan dan keberlanjutan pelestarian lebih penting daripada agenda diplomasi. Bagi masyarakat, menjaga artefak tetap di tanah kelahirannya adalah bentuk penghormatan terhadap sejarah dan identitas nasional.

Masa Depan Warisan dan Tekanan Petisi Tapestri Bayeux

Perdebatan mengenai petisi Tapestri Bayeux kini berkembang menjadi isu nasional yang menyentuh aspek politik, budaya, dan identitas bangsa. Tekanan publik yang terus meningkat bisa memaksa pemerintah untuk mempertimbangkan kembali keputusan peminjaman. Jika jumlah tanda tangan terus bertambah, bukan tidak mungkin rencana diplomatik Macron akan tertunda atau bahkan dibatalkan.

Bagi Prancis, menjaga Tapestri tetap di Bayeux memiliki arti strategis. Artefak ini bukan sekadar benda seni, tetapi juga simbol sejarah yang menegaskan identitas bangsa. Tindakan peminjaman dianggap berpotensi melemahkan warisan tersebut, terutama bila kerusakan terjadi selama perjalanan.

Di sisi lain, pemerintah juga harus menyeimbangkan antara menjaga warisan budaya dan memperkuat hubungan internasional. Macron berusaha menjadikan Tapestri sebagai simbol persahabatan Prancis–Inggris, tetapi risiko konservasi membuat strategi ini menuai kritik keras. Petisi Tapestri Bayeux menjadi representasi suara rakyat yang menolak pendekatan diplomasi semacam itu.

Baca juga : Bayeux Tapestry ke Inggris Jadi Simbol Diplomasi Budaya

Perdebatan ini juga memperlihatkan betapa besar peran publik dalam menentukan arah kebijakan budaya. Dengan semakin mudahnya masyarakat menggalang dukungan lewat petisi online, suara rakyat menjadi kekuatan penekan yang nyata. Petisi yang berhasil mengumpulkan puluhan ribu tanda tangan membuktikan bahwa warga memiliki perhatian tinggi terhadap pelestarian sejarah.

Masa depan Tapestri Bayeux kini berada di persimpangan. Apakah pemerintah tetap kukuh pada rencana peminjaman, atau tunduk pada tekanan publik? Yang jelas, petisi Tapestri Bayeux telah mengubah diskusi tentang diplomasi budaya menjadi perdebatan serius mengenai pelestarian warisan yang rapuh sekaligus berharga bagi bangsa.