Petition reintroduce pesticide picu debat nasional di Prancis. Lebih dari 1,3 juta warga tandatangani petisi lawan legalisasi pestisida berbahaya. Debat sengit tengah berlangsung di Prancis menyusul gelombang protes yang dipicu oleh sebuah petition reintroduce pesticide. Petisi publik ini menolak keras pengesahan undang-undang baru yang mengizinkan kembali penggunaan pestisida berbahaya acetamiprid, yang sebelumnya telah dilarang karena dampaknya terhadap lingkungan dan kesehatan manusia. Dalam waktu kurang dari dua minggu, lebih dari 1,3 juta warga telah menandatangani petisi tersebut, menjadikannya salah satu yang terbesar dalam sejarah Prancis.

Petisi ini muncul sebagai reaksi terhadap apa yang dikenal sebagai “Duplomb Law“—undang-undang yang bertujuan membantu petani meningkatkan hasil panen dengan membuka kembali penggunaan pestisida lama yang kontroversial. Namun, banyak warga dan aktivis lingkungan menilai langkah ini sebagai kemunduran besar dalam perlindungan ekosistem, terutama populasi lebah yang menjadi korban utama dari bahan kimia tersebut.

Petisi Rakyat dan Rekor Tanda Tangan

Petisi dengan tajuk petition reintroduce pesticide pertama kali diluncurkan oleh mahasiswa ekologi berusia 23 tahun, Eléonore Pattery. Ia mengkritik keras legalisasi kembali acetamiprid yang dianggap berbahaya dan tidak bertanggung jawab. Petisi tersebut diunggah di platform resmi Majelis Nasional, dan hanya dalam dua hari berhasil melampaui ambang batas 500.000 tanda tangan yang diperlukan untuk membuka debat resmi di parlemen.

Ketika angka tanda tangan terus melonjak hingga mencapai 1,3 juta, tekanan terhadap parlemen pun tak terhindarkan. Ketua Majelis Nasional, Yaël Braun-Pivet, menyatakan bahwa debat mengenai petisi ini akan dijadwalkan setelah libur musim panas, dan menjadi prioritas nasional.

Pemerintah Prancis, di sisi lain, menghadapi dilema. Di satu sisi, mereka ingin mendukung sektor pertanian yang kerap mengeluh soal serangan hama dan kerugian produksi. Namun di sisi lain, opini publik secara besar-besaran menentang penggunaan ulang pestisida yang telah terbukti memiliki efek toksik bagi serangga penyerbuk dan potensi bahaya jangka panjang terhadap manusia.

Dampak Sosial dan Ekologis

Pusat dari perdebatan petition reintroduce pesticide ini adalah acetamiprid, jenis pestisida dari keluarga neonicotinoid yang pernah dilarang karena menyebabkan penurunan drastis pada populasi lebah. Para ilmuwan menyebutkan bahwa pestisida ini menyerang sistem saraf serangga, menyebabkan disorientasi hingga kematian massal lebah yang sangat penting dalam proses penyerbukan tanaman.

Komunitas petani berpendapat bahwa pestisida semacam ini dibutuhkan demi melindungi hasil panen, terutama di tengah iklim yang semakin tidak menentu dan serangan hama yang meningkat. Namun, banyak juga petani yang mendukung pertanian organik menyuarakan penolakan karena penggunaan bahan kimia berlebihan hanya akan merusak kesuburan tanah dalam jangka panjang.

Selain itu, organisasi lingkungan seperti Greenpeace dan WWF mengecam keras langkah pemerintah. Mereka menuding Prancis telah mengkhianati komitmen Perjanjian Paris dan mengorbankan kesehatan lingkungan demi keuntungan politik jangka pendek.

Arah Kebijakan Pemerintah dan Proyeksi Ke Depan

Meski petition reintroduce pesticide belum membatalkan undang-undang secara hukum, keberhasilan petisi ini mencerminkan meningkatnya kesadaran masyarakat terhadap isu lingkungan. Pemerintah Macron, yang sebelumnya menekankan pembangunan berkelanjutan, kini dihadapkan pada ujian integritas. Menteri Lingkungan Prancis menyatakan akan meninjau ulang dampak ekologis dan mempertimbangkan rekomendasi ilmuwan sebelum mengimplementasikan kebijakan secara penuh.

Pusat dari perdebatan petition reintroduce pesticide ini adalah acetamiprid, jenis pestisida dari keluarga neonicotinoid yang pernah dilarang karena menyebabkan penurunan drastis pada populasi lebah. Para ilmuwan menyebutkan bahwa pestisida ini menyerang sistem saraf serangga, menyebabkan disorientasi hingga kematian massal lebah yang sangat penting dalam proses penyerbukan tanaman.

Sementara itu, Dewan Konstitusi Prancis dijadwalkan menggelar sidang pada awal Agustus untuk menilai apakah Duplomb Law melanggar prinsip-prinsip perlindungan lingkungan dan kesehatan publik. Bila ditemukan bertentangan, maka undang-undang tersebut bisa dibatalkan sebagian atau seluruhnya.

Tak hanya di Prancis, petition reintroduce pesticide juga memicu perhatian di negara-negara tetangga seperti Jerman dan Belgia, yang khawatir kebijakan ini akan berdampak lintas batas karena serangga penyerbuk tidak mengenal wilayah administratif.

Banyak pihak menyerukan agar pemerintah menginvestasikan lebih banyak dana untuk riset alternatif ramah lingkungan seperti biopestisida dan teknologi pertanian presisi. Beberapa universitas bahkan telah menawarkan solusi inovatif seperti penggunaan jamur entomopatogen dan predator alami untuk mengendalikan hama tanpa merusak lingkungan.

Gerakan petisi ini bukan sekadar perlawanan terhadap satu kebijakan, tetapi juga simbol kebangkitan kesadaran kolektif tentang pentingnya menjaga keseimbangan antara pembangunan dan kelestarian alam. Para pengamat politik menyebut fenomena ini sebagai momen penting dalam sejarah demokrasi digital Prancis.

Baca juga : Kontroversi Duplomb Law Pesticide Provision dan Protes Meluas

Dengan semakin dekatnya debat parlemen dan keputusan dari Dewan Konstitusi, semua mata kini tertuju pada bagaimana pemerintah akan merespons aspirasi jutaan warga. Apakah suara rakyat yang tergabung dalam petition reintroduce pesticide akan benar-benar mengubah arah kebijakan nasional, atau hanya menjadi catatan kaki dalam sejarah perlawanan sipil?

Yang pasti, tekanan publik telah membuktikan bahwa di era digital ini, suara kolektif yang terorganisir mampu menantang keputusan politik dan menempatkan isu lingkungan sebagai prioritas nasional.