Setelah “Legacy of the Yellow Vests”, pemerintah Prancis menerapkan polisi keras demonstran Prancis; setiap indikasi eskalasi dibalas gas air mata. Protes yang kembali mengguncang Prancis sejak gerakan “Block Everything” memperlihatkan era baru dalam polisi keras demonstran Prancis. Setiap indikasi eskalasi — bakar rintangan jalan, barikade, atau blokade lalu lintas — langsung mendapat respons dari aparat keamanan yang memakai gas air mata dan alat kendali massa lainnya. Pemerintah menyatakan bahwa tindakan ini perlu untuk menjaga ketertiban publik, namun aktivis dan warga sipil mengkritik bahwa pendekatan tegas tersebut melewati batas.

Dalam banyak kota besar seperti Paris, Lyon, Nantes, dan Marseille, polisi dikerahkan dalam jumlah besar. Jalanan diblokade dengan mobil polisi, kendaraan taktis, dan barikade darurat, serta helikopter patroli menambah kesan presence yang intens. Demonstran melancarkan aksi “Bloquons Tout” sebagai ungkapan ketidakpuasan terhadap kebijakan pajak, pemangkasan anggaran publik, dan kenaikan biaya hidup. Ketika barikade dinyalakan, polisi segera mengeluarkan gas air mata. Tindakan tegas inilah yang menunjukkan polisi keras demonstran Prancis bukan hanya slogan tapi praktik nyata di lapangan.

Reaksi publik terbagi: sebagian mendukung langkah otoritas sebagai cara menjaga keamanan dan mencegah kerusuhan, sementara sebagian lainnya menyebutnya represif. Banyak organisasi hak asasi manusia mendesak agar pemerintah menetapkan batasan yang jelas dalam penggunaan kekerasan. Isu ini kini menjadi pusat perdebatan media dan politik, menandai bahwa polisi keras demonstran Prancis akan terus dibahas selama protes berkepanjangan.

Kronologi Aksi dan Respons Keamanan

Aksi protes yang mengambil nama “Legacy of the Yellow Vests” dan “Block Everything” berlangsung secara massal pada awal pekan ini. Ribuan demonstran berkumpul di kota-kota besar, dengan blokade jalan raya, pembakaran barikade, serta tindakan simbolik seperti membakar tong sampah. Pihak keamanan merespons dengan menutup jalan akses vital, memberikan peringatan keras, dan menyebarkan pasukan anti-kerusuhan yang terlatih. Dari laporan, di Paris dan Nantes, polisi memanfaatkan gas air mata dan selang air (water cannon) ketika massa tidak merespons pembubaran damai.

Selama insiden, sekitar 80.000 petugas keamanan digerakkan di seluruh negeri, termasuk gendarmerie dan kepolisian lokal. Di beberapa wilayah, demonstrasi yang awalnya berjalan damai berubah tegang setelah kelompok kecil melakukan vandalisme ringan — inilah yang kemudian menjadi pisau pemicu bagi respons keras. Penggunaan gas air mata tampak menjadi metode standar ketika ada keraguan atas keamanan publik. Respons ini menjadi bagian dari polisi keras demonstran Prancis dalam menekan eskalasi.

Pihak pemerintah menyebut bahwa penggunaan kekerasan oleh demonstran – pelemparan bom molotov, barikade api, dan blokade jalan – memaksa polisi untuk bertindak cepat. Namun, pihak protes menyebut bahwa beberapa tindakan kepolisian terkesan melebih-lebihkan kewenangan. Tangkapan massal terjadi di beberapa lokasi; pihak kepolisian mengatakan jumlah yang diamankan adalah untuk mencegah kerusuhan besar. Dalam proses tersebut, banyak demonstran mendokumentasikan penggunaan gas air mata semalaman, menunjukkan bahwa polisi keras demonstran Prancis tidak hanya terjadi siang hari tetapi juga dalam situasi malam yang gelap.

Implikasi Politik dan Kritik Terhadap Kebijakan

Langkah keras polisi bukan hanya soal keamanan; ada implikasi politik yang besar. Presiden Emmanuel Macron dan kabinetnya menghadapi tekanan dari oposisi dan partai-kiri yang menuduh mereka mengabaikan tuntutan rakyat. Pengamat politik menyebut bahwa kebijakan pemangkasan anggaran dan kenaikan pajak telah menciptakan kekecewaan yang mendalam di kelas pekerja dan masyarakat pinggiran kota. Gerakan protes ini mengingatkan kembali protes “Yellow Vests” tahun 2018 yang juga terjadi akibat ketidakmerataan ekonomi.

Kritik terhadap polisi keras demonstran Prancis datang dari lembaga HAM, organisasi internasional, serta media independen. Mereka menyoroti bahwa penggunaan gas air mata, serta larangan penggunaan masker dan identitas wajah dalam protes, bisa melanggar hak kebebasan berekspresi dan berkumpul. Beberapa demonstran melaporkan luka, sesak napas, dan kerusakan properti akibat tindakan aparat. Tuntutan agar ada transparansi dalam penggunaan kekuatan – termasuk siapa yang memberi perintah, kondisi kapan gas air mata diperbolehkan – terus mengemuka di publik.

Baca juga : Protes Block Everything Guncang Paris

Di sisi sosial, protes merambah ke isu lain: biaya hidup, pelayanan kesehatan, pendidikan, dan ketidakpercayaan terhadap institusi. Demonstran muda dan mahasiswa memainkan peran aktif, menggunakan media sosial untuk menyebarkan video aksi dan menuntut perubahan. Media melaporkan bentrokan di dekat sekolah, rumah sakit, dan area pemukiman, di mana warga sipil yang tidak terlibat juga terkena dampak tindakan keamanan.

Untuk pemerintah, menjaga keseimbangan antara menjaga ketertiban dan menghormati hak sipil menjadi tantangan utama. Kebijakan baru yang mungkin muncul termasuk pelatihan ulang bagi pasukan polisi dalam teknik de-eskalasi, penggunaan kamera tubuh (bodycams), dan audit independen pasca-insiden. Isu ini memperjelas bahwa polisi keras demonstran Prancis mungkin menjadi norma kecuali ada perubahan kebijakan. Resolusi politik dan dialog publik bisa menjadi kunci mencegah eskalasi serius ke depan.