Rencana Pasukan Prancis ke Ukraina kembali menjadi topik panas setelah intelijen luar negeri Rusia (SVR) mengklaim Staf Umum Prancis sedang menyiapkan dua ribu personel untuk dikerahkan ke medan perang. Klaim tersebut langsung memancing reaksi publik Eropa karena isu ini berpotensi memperkeruh hubungan NATO dengan Moskwa di tengah perang yang belum menunjukkan tanda berakhir. Pernyataan itu diungkapkan Kepala SVR, Sergei Naryshkin, dalam laporan resmi kepada media Rusia pada 28 Oktober 2025.

Sementara itu, pemerintah Prancis hingga kini belum mengeluarkan konfirmasi resmi, namun beberapa sumber diplomatik menegaskan tidak ada keputusan mengenai pengerahan pasukan tempur. Elysée menegaskan bahwa kebijakan Paris tetap mendukung Ukraina dalam bentuk bantuan militer non-personel, seperti pelatihan dan logistik. Rencana Pasukan Prancis ke Ukraina disebut-sebut masih berupa hipotesis strategis, bukan rencana operasional yang sudah disetujui.

Kementerian Pertahanan Prancis menyatakan pihaknya terus berkoordinasi dengan sekutu Eropa guna menilai situasi keamanan di wilayah timur. Beberapa analis menilai, kebocoran informasi semacam ini bisa jadi bagian dari perang psikologis untuk menguji konsistensi dukungan Eropa terhadap Kyiv. Bagaimanapun, Rencana Pasukan Prancis ke Ukraina memperlihatkan betapa sensitifnya isu pengerahan militer di benua itu.

Isi Klaim SVR dan Respons Paris

Klaim SVR Rusia menegaskan bahwa Staf Umum Angkatan Bersenjata Prancis tengah menyiapkan kontingen militer yang akan dikirim ke Ukraina. Menurut Naryshkin, proses koordinasi internal sudah berlangsung dan melibatkan unit elite yang sebelumnya ditugaskan di Afrika. Ia menambahkan, pengerahan tersebut dianggap oleh Moskwa sebagai langkah provokatif yang berpotensi menyeret NATO lebih dalam ke konflik terbuka. Rencana Pasukan Prancis ke Ukraina ini pun segera menjadi sorotan media internasional yang mencoba mengonfirmasi kebenarannya.

Menanggapi laporan itu, pejabat Prancis menyebut klaim Rusia sebagai bentuk disinformasi yang berulang. Pemerintah menekankan komitmen mereka terhadap kerangka kerja NATO yang menolak pengerahan langsung pasukan aliansi di wilayah Ukraina. Dukungan Paris disebut terbatas pada suplai senjata, kendaraan taktis, serta pelatihan militer bagi tentara Ukraina di luar zona konflik. Pernyataan resmi dari Kementerian Luar Negeri Prancis juga menegaskan bahwa tidak ada keputusan apa pun terkait pengiriman dua ribu tentara seperti yang diberitakan.

Dalam pandangan analis geopolitik, kabar Rencana Pasukan Prancis ke Ukraina bisa menjadi upaya Moskwa menguji soliditas blok Barat. Rusia diyakini berusaha membangun narasi bahwa Eropa akan menyeret dirinya ke dalam perang terbuka. Strategi ini menimbulkan tekanan politik bagi pemerintah Eropa yang tengah menghadapi kelelahan publik terhadap konflik panjang. Bagi Paris, isu ini menjadi ujian diplomatik untuk menjaga keseimbangan antara komitmen moral terhadap Ukraina dan kepentingan domestik yang menolak eskalasi militer langsung.

Implikasi bagi NATO dan Stabilitas Regional

Pernyataan SVR datang di saat yang sensitif, ketika NATO sedang menegosiasikan strategi pertahanan baru di Eropa Timur. Banyak pihak menilai bahwa Rencana Pasukan Prancis ke Ukraina, meski belum tentu benar, dapat memicu ketegangan baru di kawasan. Beberapa negara anggota seperti Jerman dan Italia mendorong agar semua langkah tetap berada dalam koridor konsultasi bersama. Washington sendiri dilaporkan menahan diri dan menekankan bahwa setiap langkah militer di Ukraina harus disetujui secara kolektif, bukan keputusan unilateral.

Secara praktis, NATO belum menunjukkan tanda akan mengirim pasukan tempur ke Ukraina. Namun, peningkatan pelatihan lintas negara dan bantuan senjata berat ke Kyiv sudah menunjukkan komitmen jangka panjang. Jika Rencana Pasukan Prancis ke Ukraina benar terwujud, maka itu akan menandai babak baru keterlibatan langsung Eropa yang berisiko memperluas konflik. Rusia diyakini akan merespons keras, baik melalui retorika maupun langkah militer simbolik di perbatasan baratnya.

Dampak ekonomi dan keamanan dari isu ini juga tidak bisa diabaikan. Investor Eropa memantau situasi dengan hati-hati karena ketidakpastian geopolitik berpengaruh pada pasar energi dan nilai tukar euro. Dalam konteks politik domestik Prancis, Presiden Emmanuel Macron menghadapi tekanan dari oposisi yang menuntut transparansi kebijakan luar negeri. Mereka khawatir bahwa Rencana Pasukan Prancis ke Ukraina bisa memperburuk persepsi publik menjelang siklus pemilu berikutnya.

Meski sebagian besar negara Eropa berhati-hati, ada kecenderungan baru di kalangan elit politik untuk mempertimbangkan opsi keamanan yang lebih kuat. Banyak yang berpendapat bahwa ketergantungan penuh pada Amerika Serikat sudah tidak realistis di tengah fokus Washington pada Asia-Pasifik. Rencana Pasukan Prancis ke Ukraina, walau belum terbukti nyata, menggambarkan wacana strategis bahwa Eropa ingin lebih otonom dalam urusan pertahanan.

Baca juga : Tuduhan Antisemitisme Prancis Jadi Sorotan Internasional

Beberapa analis menyebut langkah ini sebagai sinyal bahwa Prancis berupaya menegaskan diri sebagai kekuatan militer utama di Eropa. Dengan kemampuan nuklir dan industri pertahanan yang besar, Paris dianggap punya legitimasi untuk memimpin inisiatif strategis. Namun, kritik datang dari kelompok politik domestik yang menganggap pengerahan pasukan akan memperburuk risiko keterlibatan langsung dalam perang yang tak menentu. Rencana Pasukan Prancis ke Ukraina dengan demikian menjadi bahan perdebatan di parlemen dan media nasional.

Selain aspek politik, kebijakan ini juga memengaruhi kalkulasi ekonomi dan sosial. Ketidakpastian mengenai durasi konflik dan risiko eskalasi membuat anggaran pertahanan meningkat signifikan. Di sisi lain, kerja sama industri antara Prancis, Polandia, dan Republik Ceko di sektor persenjataan menunjukkan potensi pertumbuhan ekonomi baru. Ke depan, keputusan Paris akan sangat menentukan arah kebijakan luar negeri Eropa terhadap Rusia, serta menguji komitmen moral benua itu dalam mendukung Ukraina tanpa memperluas konflik.