serangan drone terbesar Rusia terhadap Ukraina pada 7 September 2025 menjadi titik baru eskalasi perang yang sudah berlangsung lebih dari dua tahun. Dalam serangan itu, lebih dari 800 drone dan 13 rudal diluncurkan, memicu kepanikan di Kyiv dan kota besar lain. Pemerintah Ukraina mengonfirmasi, empat orang tewas, termasuk seorang bayi, sementara lebih dari 20 lainnya luka-luka.

Serangan ini untuk pertama kalinya menyebabkan gedung Kabinet Menteri Ukraina terbakar—simbol negara yang sebelumnya relatif terlindung. Peristiwa tersebut memperlihatkan bahwa target Rusia bukan hanya fasilitas militer, tetapi juga pusat pemerintahan sipil. serangan drone terbesar ini memukul psikologi publik Ukraina sekaligus menguji kemampuan pertahanan udara yang selama ini menjadi andalan.

Presiden Volodymyr Zelenskiy menyebut tindakan itu sebagai kejahatan perang. Ia meminta negara-negara Barat mempercepat pengiriman sistem pertahanan udara tambahan. Dari sisi kemanusiaan, gambar reruntuhan apartemen di distrik Darnytskyi Kyiv, di mana seorang bayi ditemukan tewas, menegaskan bahwa dampak serangan drone terbesar bukan sekadar strategi militer, melainkan tragedi kemanusiaan mendalam.

Modus Operandi dan Dampak Lapangan

serangan drone terbesar ini menunjukkan taktik baru Rusia dalam memadukan jumlah besar drone kamikaze dengan rudal jarak jauh. Menurut militer Ukraina, sebanyak 751 drone berhasil ditembak jatuh, tetapi sebagian berhasil menembus pertahanan. Satu rudal menghantam gedung pemerintahan, memicu kebakaran besar yang sulit dipadamkan berjam-jam.

Strategi swarm—melepaskan ratusan drone secara bersamaan—didesain untuk melelahkan sistem pertahanan udara. Ukraina yang menggunakan Patriot dan sistem Eropa lainnya harus mengeluarkan biaya besar untuk mencegat serangan, jauh lebih tinggi dibanding biaya produksi drone. Hal ini menegaskan sisi asimetris dari serangan drone terbesar tersebut: murah di pihak penyerang, mahal di pihak bertahan.

Kerusakan sipil cukup luas. Selain gedung kabinet, jaringan listrik di Odesa lumpuh akibat ledakan di gardu utama, sementara beberapa blok apartemen di Kryvyi Rih mengalami kerusakan parah. Warga sipil menjadi pihak paling rentan, harus mengungsi ke bunker bawah tanah untuk bertahan hidup. Dengan situasi ini, serangan drone terbesar bukan hanya operasi militer, melainkan teror psikologis untuk menekan populasi Ukraina.

Reaksi Politik dan Strategi Balasan

Pemerintah Ukraina merespons serangan drone terbesar dengan melancarkan serangan balasan ke jalur energi Rusia, termasuk pipa minyak Druzhba. Strategi ini bertujuan mengganggu pemasukan Rusia dari sektor energi sekaligus menunjukkan bahwa Ukraina masih mampu menyerang balik.

Di level politik, Zelenskiy memanfaatkan momentum ini untuk mendesak Uni Eropa dan NATO mempercepat bantuan. Ia menekankan bahwa tanpa pertahanan udara yang lebih kuat, kota-kota Ukraina akan terus jadi target empuk. Dukungan publik internasional menguat setelah tragedi bayi di Kyiv viral di media sosial. Negara-negara Barat, termasuk Prancis dan Jerman, menyatakan siap mempercepat suplai sistem pertahanan.

Namun, serangan balik Ukraina juga menimbulkan risiko. Rusia bisa merespons dengan intensifikasi serangan baru atau meluaskan target ke infrastruktur vital lain. Dengan begitu, serangan drone terbesar ini memicu lingkaran kekerasan yang semakin sulit dikendalikan, memperbesar ancaman eskalasi regional.

Dampak serangan drone terbesar terasa jauh melampaui Ukraina. Bagi Rusia, keberhasilan meluncurkan serangan skala masif memberi pesan kepada Barat bahwa mereka tetap mampu memproduksi dan meluncurkan senjata murah tapi mematikan meski di bawah sanksi internasional. Drone menjadi instrumen perang modern yang efektif sekaligus alat propaganda

Bagi Ukraina, serangan ini menegaskan kerentanan pertahanan udara mereka. Meskipun sebagian besar drone berhasil ditembak jatuh, kerusakan kecil yang lolos tetap menimbulkan korban sipil besar. Hal ini menciptakan tekanan agar sekutu Barat mempercepat transfer teknologi dan mengintegrasikan sistem pertahanan baru. serangan drone terbesar ini dengan demikian memperkuat argumen bahwa Ukraina tidak bisa bertahan sendirian dalam perang panjang.

Secara global, peristiwa ini meningkatkan kekhawatiran akan masa depan peperangan. Penggunaan drone dalam jumlah besar menjadi tren yang bisa ditiru konflik lain, dari Timur Tengah hingga Asia. Negara-negara kini harus menyesuaikan strategi pertahanan mereka menghadapi ancaman asimetris semacam ini. serangan drone terbesar ke Ukraina menjadi bukti bahwa masa depan perang bukan hanya tank dan rudal besar, melainkan ribuan drone murah yang menyerang secara simultan.

Bagi masyarakat internasional, tragedi di Kyiv memperkuat pesan kemanusiaan: korban perang bukan hanya tentara, tetapi juga bayi, anak-anak, dan warga sipil tak berdosa. Perang modern dengan drone murah justru meningkatkan risiko korban sipil. Karena itu, serangan drone terbesar ini harus menjadi momentum bagi diplomasi global untuk menekan Rusia menghentikan serangan ke target sipil, sekaligus memperkuat upaya negosiasi damai yang kini semakin mendesak.