
Serangan di Masjid Prancis 2025: Luka Baru, Masalah Lama
Pada April 2025, dunia dikejutkan oleh Serangan masjid Prancis 2025 yang mencoreng wajah toleransi. Di La Grand-Combe, seorang pemuda Muslim, Aboubakar Cissé, tewas ditikam saat beribadah. Tragedi ini langsung memantik sorotan luas terhadap Islamofobia di Prancis yang semakin sulit dipungkiri.
Table of Contents
Kronologi yang Menyayat Hati
Semua terjadi begitu cepat. Aboubakar, 22 tahun, baru saja menundukkan kepala dalam doa, ketika Olivier A., pria muda berusia 20 tahun, mendekat dan melakukan penyerangan brutal.
Lebih tragisnya lagi, aksi itu direkam sendiri oleh pelaku, lalu disebar ke media sosial sambil mengumbar ujaran kebencian.
Olivier sempat kabur ke Italia, tapi akhirnya menyerahkan diri di Pistoia.
Publik bertanya-tanya: apa yang mendorong anak muda ini membenci sedalam itu?
Macron Angkat Bicara, Tapi Mampukah Meredam Amarah?
Presiden Emmanuel Macron cepat bereaksi. Ia menyatakan, “Tak ada tempat untuk rasisme dan kebencian berbasis agama di Republik ini.”
Pemerintah langsung memperketat keamanan di sekitar masjid-masjid.
Tapi buat banyak komunitas Muslim, langkah itu terasa klise.
Mereka mendesak agar kejadian ini diakui sebagai serangan teroris, bukan sekadar tindak kriminal biasa.
Islamofobia di Prancis: Fenomena yang Tak Lagi Tersembunyi

Kalau mau jujur, Islamofobia di Prancis udah kayak penyakit lama yang makin parah.
Dari data 2023-2025, insiden kebencian terhadap Muslim meningkat lebih dari 30%.
Beberapa faktanya:
- Masjid dirusak atau dihina.
- Wanita berhijab dilarang bekerja di banyak sektor.
- Muslim sering dikaitkan dengan radikalisme, bahkan tanpa bukti.
Ini bukan hanya soal tindakan individu. Ada atmosfer ketakutan yang sengaja dipelihara, sadar atau tidak.
Dari Aksi Diam Sampai Demo Besar: “Muslim Juga Warga Republik!”
Sebagai bentuk solidaritas, ribuan orang berkumpul di La Grand-Combe.
Mereka menggelar aksi diam mengenang Cissé, membentangkan poster bertuliskan “Muslim Bukan Ancaman” dan “Kami Bagian dari Prancis.”
Di Paris, demonstrasi besar berlangsung damai. Banyak non-Muslim yang turut hadir. Mereka paham, ini bukan sekadar soal satu agama — ini soal kemanusiaan.
Sekularisme Prancis: Menjaga Netralitas atau Membatasi?
Prancis sering bangga dengan prinsip laïcité (sekularisme). Tapi dalam praktiknya, banyak Muslim merasa prinsip itu justru dijadikan alasan untuk membatasi mereka.
Pelarangan simbol keagamaan di sekolah, pembatasan pembangunan masjid, hingga pengawasan ketat terhadap organisasi Muslim memperlihatkan satu hal:
Batas antara netralitas dan diskriminasi sangat tipis.
Siapa Aboubakar Cissé? Korban yang Membawa Harapan
Aboubakar Cissé bukanlah nama besar di dunia, tapi di komunitas kecil La Grand-Combe, ia adalah sosok yang dikenal ramah dan pekerja keras.
Ia datang ke Prancis dari Mali dengan harapan membangun masa depan lebih baik.
Sehari-hari, Cissé bekerja di sebuah bengkel mobil lokal sambil membantu kegiatan di masjid setempat.
Bagi banyak orang, Aboubakar adalah contoh generasi muda Muslim yang ingin berkontribusi positif untuk Prancis.
Kehilangan dirinya adalah kehilangan masa depan yang seharusnya lebih cerah.
Mengupas Sosok Pelaku: Apa Motivasinya?
Pelaku, Olivier A., adalah pemuda berusia 20 tahun yang sebelumnya tidak memiliki catatan kriminal berat.
Namun, beberapa laporan menyebutkan bahwa ia sering memposting konten radikal dan ujaran kebencian terhadap Islam di media sosial.
Banyak yang mempertanyakan bagaimana ideologi kebencian bisa mengakar begitu kuat di kalangan anak muda.
Apakah ini karena kurangnya edukasi toleransi? Atau media sosial yang semakin menjadi ruang gelap radikalisasi?
Respons Dunia Internasional: Kecaman dan Ajakan Bersatu
Tragedi ini tidak hanya mengguncang Prancis, tapi juga menarik perhatian dunia.
Beberapa pemimpin dunia, termasuk Sekjen PBB, mengeluarkan pernyataan mengecam keras Serangan masjid Prancis 2025.
Bahkan komunitas Yahudi dan Kristen di berbagai negara Eropa turut mengungkapkan solidaritas mereka terhadap umat Muslim.
Mereka mengingatkan bahwa serangan terhadap satu kelompok agama adalah ancaman terhadap semua nilai kemanusiaan.
Komunitas Non-Muslim Turut Bersolidaritas
Salah satu hal yang menghangatkan hati setelah tragedi ini adalah solidaritas lintas agama.
Beberapa gereja di Prancis mengadakan misa khusus untuk mendoakan Aboubakar dan keluarganya.
Sekolah-sekolah lokal juga menggelar sesi dialog tentang toleransi dan anti-rasisme.
Ini membuktikan bahwa meskipun kebencian mencoba memecah belah, kemanusiaan sejati masih hidup di hati banyak orang.
Ke Mana Arah Prancis Setelah Ini?
Setelah Serangan masjid Prancis 2025, Prancis dihadapkan pada pilihan besar:
Apakah negara ini akan benar-benar menghadapi Islamofobia secara serius, atau justru membiarkan luka ini menganga lebih lebar?
Pemerintah sudah mulai merancang undang-undang baru untuk memperberat hukuman terhadap kejahatan kebencian.
Tapi keberhasilan sejati tidak hanya diukur dari undang-undang, melainkan dari perubahan sikap sosial di masyarakat sehari-hari.
Apa yang Sebenarnya Dibutuhkan?
Mengutuk serangan saja nggak cukup.
Kalau Prancis mau memperbaiki luka ini, ada beberapa hal yang harus benar-benar dilakukan:
- Mengakui Islamofobia sebagai masalah serius, bukan sekadar insiden sporadis.
- Menyiapkan program edukasi anti-kebencian di sekolah-sekolah.
- Melibatkan komunitas Muslim dalam diskusi kebijakan.
- Tindak tegas ujaran kebencian, bahkan di level elite politik.
Mudah? Tentu nggak. Tapi tetap harus dicoba.
Penutup: Saatnya Tindakan, Bukan Cuma Retorika
Serangan masjid Prancis 2025 adalah peringatan keras.
Kalau Prancis terus membiarkan prasangka tumbuh, luka sosial ini akan makin dalam.
Di negeri yang mengklaim menjunjung kebebasan, setiap orang — apapun agamanya — harus merasa aman.
Bukan sekadar janji di atas kertas. Tapi realita di jalanan.
Baca Juga: 10 Destinasi Mewah di China 2025