Gelombang wisata berlebihan Montmartre di Paris kini mulai menuai protes dari penduduk lokal. Kawasan yang dikenal dengan pesona seninya, jalan berbatu yang menawan, dan panorama Sacré-Cœur itu kini justru berubah menjadi titik panas akibat kelebihan jumlah wisatawan. Setiap hari, ribuan turis memadati gang sempit Montmartre, membuat warga lokal kesulitan menjalani rutinitas harian.

Masalah ini bukan baru muncul. Dalam beberapa tahun terakhir, Montmartre sudah menghadapi tekanan akibat popularitasnya sebagai destinasi ikonik. Namun pascapandemi dan setelah dibukanya kembali akses internasional secara penuh, arus wisatawan meningkat drastis. Suasana lingkungan yang dulunya tenang kini berubah jadi hiruk-pikuk setiap hari.

Dengan membawa spanduk bertuliskan “Stop Overtourism” dan “Save Montmartre”, sejumlah warga melancarkan unjuk rasa di kawasan Place du Tertre. Mereka menuntut kebijakan pembatasan kunjungan harian, regulasi transportasi wisata, hingga insentif bagi bisnis lokal non-wisata yang mulai terpinggirkan.

Ketimpangan Akibat Pariwisata Berlebihan

Lonjakan wisata berlebihan Montmartre menciptakan ketimpangan antara kebutuhan ekonomi dan sosial warga. Di satu sisi, bisnis berbasis pariwisata seperti toko suvenir, restoran, dan tur lokal meraup untung besar. Namun di sisi lain, warga merasa hak dasarnya sebagai penghuni tetap dilanggar. Salah satu keluhan utama adalah kebisingan, polusi, dan hilangnya ruang pribadi.

Menurut Pierre Lambert, seorang penduduk yang telah tinggal di Montmartre selama lebih dari 30 tahun, “Kami merasa seperti tinggal di museum hidup yang tidak pernah tutup. Setiap pagi ketika membuka jendela, yang terlihat hanyalah rombongan wisata dan pemandu membawa pengeras suara.” Ia menyatakan bahwa kenyamanan warga telah tergantikan oleh kebutuhan industri pariwisata.

Lonjakan wisata berlebihan Montmartre menciptakan ketimpangan antara kebutuhan ekonomi dan sosial warga. Tak hanya kenyamanan yang terganggu, harga properti pun melonjak tajam akibat permintaan akomodasi jangka pendek seperti Airbnb. Banyak rumah dijadikan apartemen sewa turis, mengurangi ketersediaan tempat tinggal permanen bagi warga lokal. Pemerintah Paris sendiri sudah mulai memperketat aturan sewa harian, tetapi penerapannya belum merata.

Tanggapan Pemerintah dan Alternatif Solusi

Menyikapi isu wisata berlebihan Montmartre, Wali Kota Paris, Anne Hidalgo, menyatakan bahwa pihaknya tengah mengkaji sistem pembatasan jumlah pengunjung harian ke beberapa titik sensitif di kota, termasuk Montmartre. Skema yang dipertimbangkan mencakup pemesanan digital untuk kunjungan, pembatasan jalur kendaraan wisata, dan kampanye kesadaran untuk wisatawan.

Langkah ini mengikuti jejak kota-kota lain di Eropa yang menghadapi masalah serupa, seperti Venesia dan Barcelona. Di Venesia, tiket masuk ke pusat kota sudah mulai diberlakukan sejak pertengahan tahun 2024. Paris, yang menjadi salah satu kota paling dikunjungi di dunia, dihadapkan pada tantangan besar dalam menjaga keseimbangan antara sektor ekonomi dan kenyamanan warga.

Beberapa komunitas lokal juga mulai menginisiasi gerakan alternatif. Salah satunya adalah “Montmartre pour les Habitants”, kelompok warga yang mengusulkan pembentukan zona tenang, jadwal kunjungan terbatas, serta program pelibatan wisatawan dalam kegiatan budaya lokal, bukan hanya sekadar konsumsi visual dan belanja suvenir.

“Wisata bisa tetap berjalan tanpa mengorbankan kehidupan warga,” ujar Camille Dupont, aktivis lingkungan yang ikut serta dalam gerakan tersebut. Ia percaya bahwa mengarahkan wisata ke jalur edukatif dan berkelanjutan dapat menurunkan tekanan akibat wisata berlebihan Montmartre.

Fenomena wisata berlebihan Montmartre juga berdampak pada identitas budaya lokal. Banyak seniman jalanan, pelukis, dan pemusik yang dulu menghiasi kawasan Place du Tertre kini merasa tersingkir oleh dominasi komersialisme. Seni menjadi semacam “atraksi wisata instan” alih-alih bentuk ekspresi yang otentik.

Baca juga : Menara Eiffel Paris, Ikon Wisata yang Tak Lekang Waktu

Beberapa galeri kecil yang dulunya menopang semangat seni Montmartre mulai berguguran, kalah saing dengan toko-toko suvenir massal. Situasi ini memicu kekhawatiran bahwa karakter asli Montmartre bisa hilang selamanya jika tidak ada intervensi konkret dari otoritas setempat maupun UNESCO, mengingat status kawasan ini sebagai warisan budaya dunia tidak resmi.

Di media sosial, diskusi tentang wisata berlebihan Montmartre juga mulai ramai. Beberapa influencer asal Paris bahkan menyerukan agar wisatawan mulai mengeksplorasi wilayah Paris yang kurang dikenal namun tak kalah menarik, seperti Canal Saint-Martin atau Belleville, untuk membantu menyebar beban turisme.