Pemerintah Inggris dan Prancis diperkirakan akan segera menerapkan kesepakatan migran uk prancis yang disepakati pada Juli 2025. Kesepakatan ini dibuat untuk mengatasi lonjakan migran ilegal yang melintasi Selat Dover menggunakan perahu kecil. Dalam skema tersebut, Inggris dapat memulangkan migran yang masuk secara ilegal ke Prancis, sementara sebagai gantinya, satu migran dari Prancis dengan kriteria sah akan dipindahkan ke Inggris melalui jalur legal.

Skema ini disebut sebagai “one-in, one-out”, yang dianggap sebagai terobosan dalam diplomasi migrasi kedua negara. Pemerintah Inggris menilai, dengan adanya pengaturan ini, sinyal jelas dapat dikirimkan kepada para migran bahwa perjalanan ilegal melintasi Channel tidak akan berhasil. Di sisi lain, Prancis menekankan bahwa mekanisme ini memberi jalur yang lebih manusiawi bagi mereka yang benar-benar memenuhi kriteria pengungsi. Implementasi awal akan melibatkan penerbangan deportasi dengan jumlah terbatas, namun ke depan jumlah ini dapat diperluas. Dengan latar belakang migrasi yang terus meningkat, kesepakatan migran uk prancis menjadi sorotan kebijakan Eropa.

Mekanisme dan Tujuan Kesepakatan

Skema “one-in, one-out” yang menjadi inti kesepakatan migran uk prancis memastikan adanya timbal balik antara deportasi dan penerimaan jalur legal. Setiap migran yang dipulangkan ke Prancis akan diimbangi dengan penerimaan satu orang yang memenuhi kriteria sah untuk masuk Inggris. Kriteria ini mencakup mereka yang memiliki keluarga dekat di Inggris atau pengungsi dengan status yang diakui. Target awal adalah sekitar 50 orang per minggu, namun jumlah ini dinilai masih kecil dibandingkan lebih dari 30 ribu migran yang menyeberang sepanjang 2025.

Mekanisme operasional meliputi penerbitan surat deportasi resmi, penggunaan penerbangan komersial, serta proses verifikasi kondisi medis atau status rentan migran. Inggris bertanggung jawab menahan migran ilegal sementara Prancis menyeleksi individu yang layak masuk ke Inggris. Dengan pengaturan ini, diharapkan risiko perjalanan berbahaya menggunakan perahu dapat berkurang, sekaligus memberikan jalur hukum bagi mereka yang benar-benar membutuhkan perlindungan. Namun, keberhasilan kesepakatan migran uk prancis masih akan diuji oleh kompleksitas administrasi dan resistensi politik di kedua negara.

Kritik, Tantangan, dan Respons Publik

Penerapan kesepakatan migran uk prancis tidak lepas dari kritik. Sejumlah organisasi hak asasi manusia menilai deportasi cepat bisa berpotensi melanggar prinsip perlindungan pengungsi. Mereka menekankan pentingnya memeriksa setiap kasus secara mendetail, terutama bagi migran dengan kondisi medis serius atau yang melarikan diri dari penganiayaan. Beberapa penerbangan deportasi bahkan tertunda karena adanya tantangan hukum dari pengacara migran.

Selain itu, Prancis menghadapi risiko menjadi titik transit yang menanggung beban migran yang ditolak di Inggris. Layanan sosial dan sistem imigrasi Prancis diperkirakan akan semakin terbebani jika jumlah deportasi terus bertambah. Publik di kedua negara pun terbagi: sebagian melihat kesepakatan ini sebagai solusi realistis, sementara sebagian lain menilainya hanya langkah simbolis yang tidak menyentuh akar masalah migrasi global. Tantangan hukum, birokrasi, dan biaya operasional juga menjadi faktor yang dapat menghambat implementasi penuh kesepakatan migran uk prancis dalam jangka panjang.

Keberhasilan atau kegagalan kesepakatan migran uk prancis akan sangat menentukan arah politik kedua negara. Bagi pemerintah Inggris, kesepakatan ini merupakan upaya menunjukkan kontrol terhadap perbatasan pasca-Brexit. Perdana Menteri ingin memperlihatkan bahwa kebijakan tegas dapat menurunkan jumlah migran ilegal. Di sisi lain, Prancis juga berusaha membuktikan komitmen dalam kerja sama Eropa untuk mengelola arus migrasi secara kolektif.

Namun, dampak politik bisa menjadi bumerang jika implementasi dianggap gagal. Jika deportasi terhambat atau jalur legal tidak berfungsi efektif, kepercayaan publik akan semakin menurun. Selain itu, isu hak asasi manusia akan terus membayangi, dengan risiko menurunkan citra internasional Inggris maupun Prancis. Dari sisi regional, negara-negara Eropa lain juga menilai kesepakatan ini sebagai eksperimen yang mungkin bisa ditiru atau sebaliknya menjadi peringatan.

Ke depan, perlu ada evaluasi rutin terhadap efektivitas skema, termasuk jumlah migran yang berhasil dideportasi, transparansi proses seleksi, serta keseimbangan antara aspek keamanan dan kemanusiaan. Tanpa transparansi, kesepakatan ini bisa dianggap hanya gimmick politik. Tetapi jika dijalankan dengan konsisten, kesepakatan migran uk prancis berpotensi menjadi model kerja sama bilateral dalam mengelola arus migrasi di kawasan.