
Langkah Prancis dalam memperkuat perlindungan terhadap wanita prancis mendapat sorotan internasional setelah GREVIO merilis laporan tematik pertama terkait pelaksanaan Konvensi Istanbul. Negara ini dinilai berhasil meluncurkan sejumlah kebijakan progresif untuk melawan kekerasan dalam rumah tangga dan kekerasan seksual, termasuk penerapan perintah perlindungan sementara yang langsung berlaku, penandaan elektronik pelaku, serta pembentukan fasilitas kesehatan khusus korban. Inisiatif ini ditambah dengan peningkatan dana hotline 3919, yang menjadi jalur utama bagi korban untuk melapor dan mencari bantuan segera.
GREVIO juga menyoroti inovasi berupa protokol femisida yang berfokus pada perlindungan anak-anak yang menyaksikan kekerasan, serta program “New Start” yang memberi dukungan menyeluruh bagi korban untuk memulai hidup baru. Semua ini menandai komitmen serius pemerintah dalam menegakkan perlindungan terhadap wanita prancis, baik melalui aspek hukum, medis, maupun sosial. Namun, laporan tersebut juga mengingatkan bahwa keberhasilan jangka panjang bergantung pada implementasi konsisten di semua wilayah, serta keberanian pemerintah dalam mengisi celah hukum yang masih ada.
Table of Contents
Kebijakan Hukum dan Dukungan Medis
Laporan GREVIO menegaskan bahwa perlindungan terhadap wanita prancis semakin kokoh dengan adanya pembaruan hukum yang mengutamakan respons cepat terhadap korban. Perintah perlindungan sementara kini dapat diterbitkan segera tanpa menunggu proses hukum panjang, memberi rasa aman bagi korban dalam waktu singkat. Di sisi lain, pelaku kekerasan yang dianggap berbahaya dapat dikenai penandaan elektronik sehingga aparat bisa memantau pergerakan mereka secara real time. Langkah ini diakui mampu mencegah pelanggaran ulang dan meningkatkan rasa aman masyarakat.
Selain itu, pemerintah juga mendirikan fasilitas kesehatan khusus di beberapa wilayah untuk korban kekerasan seksual. Layanan ini mencakup pemeriksaan medis, konseling psikologis, hingga pendampingan hukum. Dukungan finansial darurat turut disiapkan, sehingga korban yang memilih meninggalkan pasangan abusive tidak terjebak dalam kesulitan ekonomi. Program “New Start” melengkapi strategi ini dengan menawarkan bantuan psikologis, sosial, serta fasilitas untuk membangun kembali kehidupan setelah trauma. Semua kebijakan ini memperlihatkan bahwa perlindungan terhadap wanita prancis kini tidak hanya sebatas slogan, tetapi nyata dalam bentuk program terukur.
Tantangan Implementasi dan Kritik GREVIO
Walaupun banyak kemajuan, perlindungan terhadap wanita prancis masih menghadapi sejumlah tantangan besar. GREVIO menyoroti adanya perbedaan respons di berbagai wilayah, di mana efektivitas aparat penegak hukum sangat bergantung pada pelatihan dan ketersediaan sumber daya. Ketidakseragaman ini membuat korban di daerah tertentu berisiko mendapatkan perlindungan yang lebih rendah dibandingkan di kota besar. Selain itu, definisi hukum tentang kekerasan seksual juga dinilai belum sepenuhnya berbasis pada prinsip konsen bebas korban, sehingga ada potensi kasus tidak diproses sesuai standar Konvensi Istanbul.
Tantangan lain yang disoroti adalah kurangnya data terperinci mengenai kekerasan berbasis gender. GREVIO merekomendasikan agar Prancis mengumpulkan data yang lebih lengkap berdasarkan usia korban, status migrasi, kondisi disabilitas, hingga hubungan dengan pelaku. Tanpa data akurat, sulit bagi pemerintah untuk menyusun kebijakan yang tepat sasaran. Ada pula kritik terhadap akses layanan di wilayah pedesaan atau daerah luar metropolitan, yang masih minim fasilitas. Hal ini menunjukkan bahwa perlindungan terhadap wanita prancis perlu dijalankan dengan pendekatan lebih inklusif, agar semua kelompok rentan mendapat perlindungan setara.
Ke depan, perlindungan terhadap wanita prancis diharapkan dapat menjadi model bagi negara-negara lain dalam melawan kekerasan berbasis gender. Prancis telah menunjukkan bahwa kombinasi kebijakan hukum, dukungan medis, dan layanan sosial bisa memberikan dampak nyata bagi korban. Dengan penguatan hotline 3919, korban memiliki akses cepat ke bantuan, sementara program “New Start” memastikan mereka dapat membangun kembali kehidupan. Reformasi ini juga membawa pesan moral bahwa negara memiliki tanggung jawab besar untuk hadir di sisi korban, bukan sekadar menindak pelaku.
Namun, tantangan keberlanjutan tetap mengintai. Implementasi reformasi membutuhkan dana besar dan konsistensi politik, terutama di tengah kondisi fiskal yang tidak selalu stabil. Selain itu, perlawanan budaya terhadap isu gender juga masih ada, terutama dari kelompok konservatif yang memandang kebijakan ini sebagai bentuk intervensi berlebihan negara dalam ranah privat. Meski demikian, kesadaran publik semakin meningkat, dengan dukungan kuat dari kelompok masyarakat sipil dan media yang terus mengawal isu ini.
Jika pemerintah mampu menutup celah hukum, memperluas fasilitas hingga ke daerah terpencil, dan memastikan pengawasan ketat terhadap implementasi, maka perlindungan terhadap wanita prancis dapat benar-benar menjadi tonggak sejarah dalam perjuangan melawan kekerasan berbasis gender. Lebih dari sekadar kebijakan nasional, langkah ini akan memperkuat posisi Prancis di kancah internasional sebagai negara yang berkomitmen pada kesetaraan dan hak asasi manusia.