Pada tanggal 26 Juni 2025, Pengadilan Hak Asasi Manusia Eropa (European Court of Human Rights/ECtHR) mengeluarkan putusan bersejarah yang menyatakan bahwa Prancis telah melakukan pelanggaran hak asasi manusia melalui praktik racial profiling oleh aparat kepolisian. Kasus ini melibatkan warga Prancis bernama Karim Touil, yang dihentikan polisi sebanyak tiga kali dalam kurun waktu sepuluh hari di kota Besançon pada tahun 2011. Putusan ini mengangkat kembali perdebatan mengenai diskriminasi sistematis terhadap kelompok minoritas, khususnya warga kulit hitam dan keturunan Arab di Prancis.

Kasus Karim Touil dan Temuan ECtHR

Karim Touil menjadi simbol dari praktik racial profiling setelah dirinya dicegat oleh petugas kepolisian tanpa alasan yang jelas. Dalam putusannya, ECtHR menyatakan bahwa negara gagal memberikan pembenaran objektif atas tindakan tersebut. Pemerintah Prancis dinyatakan tidak mampu membuktikan bahwa pemeriksaan identitas terhadap Touil tidak didasari oleh ras, etnis, atau warna kulit.

Sebagai konsekuensi, ECtHR memerintahkan Prancis untuk membayar kompensasi sebesar €3.000 kepada Touil, sekaligus menegaskan bahwa tindakan tersebut melanggar Pasal 14 (larangan diskriminasi) dan Pasal 8 (hak atas kehidupan pribadi) dalam Konvensi Hak Asasi Manusia Eropa.

Konteks Praktik Racial Profiling di Prancis

Putusan ini bukanlah kasus pertama yang menyeret reputasi kepolisian Prancis dalam praktik diskriminatif. Berbagai laporan dari organisasi HAM internasional seperti Amnesty International, Human Rights Watch, dan Open Society Justice Initiative telah lama menyuarakan kekhawatiran terhadap pemeriksaan identitas yang bersifat diskriminatif, terutama terhadap pemuda Muslim, Afrika, dan keturunan Arab.

Sebuah studi tahun 2021 bahkan menyebutkan bahwa anak-anak berusia 10 tahun pun dapat menjadi sasaran razia identitas tanpa dasar hukum yang kuat. Hal ini memperlihatkan adanya pola diskriminatif yang telah mengakar dan dilegitimasi secara sistematis oleh aparat negara.

Respons Pemerintah dan Lembaga Nasional

Pada tahun 2023, Conseil d’État (Mahkamah Administratif Tertinggi Prancis) juga telah mengakui adanya diskriminasi dalam identifikasi warga, namun gagal memberikan tindakan konkret atau perubahan kebijakan. Hal ini menimbulkan kekhawatiran bahwa pengakuan tersebut hanya bersifat formalitas tanpa implementasi nyata di lapangan.

Dengan adanya putusan ECtHR, tekanan terhadap pemerintah Prancis untuk melakukan reformasi struktural dalam sistem kepolisian semakin meningkat. Berbagai pihak menyerukan pembentukan sistem pencatatan formal (logbook) atas semua pemeriksaan identitas yang dilakukan oleh aparat, guna meningkatkan akuntabilitas dan mencegah penyalahgunaan wewenang.

Pandangan Internasional dan Dampak Hukum

Putusan ECtHR memberikan sinyal kuat kepada negara-negara anggota Dewan Eropa bahwa racial profiling adalah pelanggaran serius terhadap hak asasi manusia. Lembaga seperti Komisi Anti-Rasisme dan Intoleransi (ECRI) menekankan pentingnya mekanisme verifikasi internal, transparansi dalam proses penegakan hukum, serta perlunya pelatihan anti-bias bagi aparat.

Putusan ini juga membuka ruang bagi warga negara lain yang mengalami diskriminasi serupa untuk mengajukan gugatan hukum baik di tingkat nasional maupun internasional. Bagi Prancis sendiri, reputasi sebagai negara yang menjunjung nilai-nilai “liberté, égalité, fraternité” kini kembali dipertanyakan.

Tantangan dan Harapan ke Depan

Pemerintah Prancis kini berada di persimpangan jalan. Putusan ECtHR menuntut komitmen politik nyata untuk menghapus praktik diskriminatif di tubuh kepolisian. Hal ini meliputi:

  • Revisi Undang-Undang Kepolisian yang memberikan celah terhadap praktik tidak transparan.
  • Pelatihan wajib bagi aparat tentang bias rasial dan diskriminasi.
  • Mekanisme aduan publik yang independen dan responsif.
  • Implementasi sistem log pencatatan untuk setiap pemeriksaan identitas.

Bagi kelompok minoritas, keputusan ini memberi angin segar dalam perjuangan panjang mereka untuk memperoleh keadilan dan perlindungan hukum yang setara.

Putusan ECtHR terhadap Prancis atas kasus racial profiling bukan sekadar penghukuman, melainkan momentum untuk refleksi dan reformasi nasional. Praktik diskriminatif seperti ini tidak hanya merusak integritas institusi hukum, tetapi juga mengikis kepercayaan publik terhadap negara.

Sebagai anggota Uni Eropa dan penandatangan Konvensi Eropa tentang Hak Asasi Manusia, Prancis memiliki tanggung jawab moral dan hukum untuk menegakkan prinsip non-diskriminasi dan keadilan. Kini, dunia menanti: apakah Prancis akan menjawab putusan ini dengan reformasi konkret, atau sekadar retorika semata?

Socialists Ajukan Mosi Tidak Percaya Setelah Negosiasi Pensiun di Prancis Gagal