Usulan Perdana Menteri Bayrou untuk Pemotongan Hari Libur Nasional demi penghematan anggaran memicu kemarahan publik di seluruh Prancis. Perdana Menteri Prancis François Bayrou tengah menghadapi badai protes usai mengusulkan penghapusan dua dari sebelas hari libur nasional. Rencana tersebut, yang mencakup penghapusan Easter Monday dan Victory in Europe Day, dimaksudkan sebagai bagian dari langkah penghematan fiskal besar-besaran untuk menekan defisit negara yang saat ini berada di angka 5,8% dari PDB.

Bayrou mengklaim bahwa dengan pemotongan hari libur nasional, pemerintah bisa menghemat hingga €4,2 miliar per tahun dan mengarahkan Prancis menuju target defisit 3% pada 2029. Namun, publik tidak melihatnya sebagai solusi ekonomi yang masuk akal, melainkan sebagai bentuk penyerangan terhadap nilai-nilai sosial dan budaya yang telah mendarah daging dalam kehidupan masyarakat Prancis.

Reaksi warga sangat keras. Di berbagai kota, mulai dari Paris hingga Lyon, protes bermunculan. Media sosial dipenuhi kritik, tagar #TouchePasÀMesJoursFériés (Jangan Sentuh Hari Liburku) menjadi tren. Video dari stasiun-stasiun televisi menunjukkan karyawan, mahasiswa, bahkan pensiunan menyuarakan kekecewaan. Beberapa menyebut rencana ini “tidak masuk akal”, sementara yang lain menyebutnya sebagai “pengkhianatan terhadap rakyat.”

Tradisi, Agama, dan Sejarah yang Terancam

Yang membuat rencana ini semakin kontroversial adalah hari libur yang ingin dihapus pemerintah bukanlah sekadar waktu istirahat, tetapi simbol penting dalam kalender nasional. Easter Monday merupakan perayaan keagamaan yang signifikan bagi umat Kristen Katolik di Prancis. Sementara Victory in Europe Day, yang dirayakan setiap 8 Mei, memperingati kemenangan Sekutu atas Nazi Jerman dalam Perang Dunia II—momen yang sarat makna sejarah dan patriotisme.

Dengan menghapus dua tanggal penting tersebut, banyak pihak menilai pemerintah telah gagal memahami makna mendalam dari hari-hari itu. Gereja Katolik secara resmi telah menyuarakan penolakannya, sementara veteran perang dan keluarga mereka menyampaikan kekhawatiran bahwa generasi muda akan kehilangan pemahaman terhadap sejarah nasional jika peringatan semacam itu dihapuskan.

Sejumlah serikat pekerja juga telah mengisyaratkan kesiapan mereka untuk melakukan aksi mogok. Mereka menilai langkah pemotongan hari libur nasional hanya akan meningkatkan tekanan terhadap kelas pekerja, yang selama ini sudah menghadapi inflasi, kenaikan harga bahan pokok, dan stagnasi upah.

Para ekonom pun terpecah dalam menanggapi wacana ini. Sebagian menganggap langkah tersebut sebagai sinyal positif bagi pasar internasional bahwa Prancis serius dalam mengendalikan defisitnya. Namun banyak juga yang mempertanyakan apakah efek ekonomi dari penghapusan dua hari libur benar-benar signifikan. Studi sebelumnya di negara-negara Nordik menunjukkan bahwa produktivitas hanya meningkat dalam jangka pendek, dan itu pun tidak selalu sebanding dengan dampak sosialnya.

Dampak Politik dan Masa Depan Pemerintahan Bayrou atas pemotongan hari libur nasional

Secara politis, keputusan ini telah mengguncang posisi PM Bayrou yang sejak awal menjabat atas dukungan aliansi rapuh di parlemen. Partai oposisi dari kanan maupun kiri secara terbuka menolak rencana pemotongan hari libur nasional. Marine Le Pen dari National Rally menyebutnya sebagai “serangan terhadap rakyat pekerja,” sementara Jean-Luc Mélenchon dari France Unbowed menyebutnya “perampokan waktu publik demi keuntungan anggaran yang absurd.”

Bahkan dalam lingkup internal pemerintahan sendiri, beberapa anggota koalisi mulai menunjukkan tanda-tanda perbedaan pandangan. Jika ketegangan ini terus berlanjut dan dukungan dari parlemen merosot, maka bisa saja pemotongan hari libur nasional menjadi pemicu mosi tidak percaya dalam sidang anggaran mendatang.

Bayrou sendiri mencoba meredakan suasana dengan menyebut bahwa usulan ini masih bisa dinegosiasikan dan terbuka untuk kompromi. Namun publik tampaknya tidak percaya. Sejumlah pengamat menyatakan bahwa gelombang kemarahan saat ini bukan semata karena dua hari libur, melainkan karena akumulasi ketidakpuasan terhadap kebijakan ekonomi elit yang dinilai tidak berpihak pada rakyat kecil.

Baca juga : Georges Abdallah Bebas setelah 40 Tahun Penjara di Prancis

Yang menjadi taruhan bukan hanya dua hari dalam kalender nasional, tetapi juga kredibilitas dan keberlangsungan pemerintahan Bayrou. Jika pemerintah bersikukuh pada langkah ini tanpa komunikasi dan partisipasi publik yang lebih inklusif, maka risiko krisis politik akan semakin besar. Apalagi dalam atmosfer pasca-pandemi, ketika rakyat menginginkan ruang istirahat dan stabilitas lebih dari sebelumnya.

Rencana pemotongan hari libur nasional tampaknya telah menjadi simbol konflik antara efisiensi ekonomi dan nilai-nilai sosial. Bagaimana pemerintah akan mengelola tekanan ini akan menjadi indikator utama stabilitas politik Prancis dalam waktu dekat. Musim gugur nanti bisa menjadi penentu arah baru bagi negeri yang sedang mencari keseimbangan antara beban fiskal dan tradisi yang telah lama dijaga.