
Turbulensi Politik Prancis kembali mengguncang Eropa setelah Perdana Menteri Sébastien Lecornu resmi mengundurkan diri hanya 27 hari menjabat. Pengunduran diri itu membuka babak ketidakpastian baru bagi pemerintahan Emmanuel Macron yang kini menghadapi dilema konstitusional dan tekanan politik dari oposisi. Presiden menunda keputusan final hingga rampungnya negosiasi dengan partai-partai utama, sementara pasar keuangan memantau ketegangan fiskal yang terus meningkat. Dalam situasi ini, publik dan pengamat politik memetakan empat kemungkinan besar yang dapat menentukan arah kepemimpinan Prancis hingga 2027.
Macron tengah mempertimbangkan langkah paling realistis di tengah tekanan parlemen tanpa mayoritas. Situasi Turbulensi Politik Prancis bukan hanya tentang kekosongan kursi perdana menteri, tetapi juga tentang legitimasi kekuasaan eksekutif di tengah polarisasi tajam. Ketidakstabilan ini menimbulkan kekhawatiran terhadap penyusunan anggaran 2026 yang harus disetujui parlemen sebelum akhir tahun, sekaligus menguji kepercayaan publik terhadap kemampuan Macron menavigasi badai politik tanpa kehilangan kendali.
Table of Contents
Opsi Pertama: PM Baru dan Risiko Mosi Tidak Percaya
Skenario pertama yang paling memungkinkan dalam Turbulensi Politik Prancis adalah penunjukan perdana menteri baru dari lingkaran Macron atau teknokrat netral. Secara teori, langkah ini dapat menenangkan pasar dan menjaga kesinambungan administrasi, tetapi hambatan politik tetap besar. Parlemen yang terpecah membuat setiap PM baru berisiko segera diguncang mosi tidak percaya. Jika mayoritas relatif tidak terbentuk, pemerintahan hanya akan bertahan beberapa bulan sebelum krisis baru muncul.
Nama-nama seperti mantan menteri ekonomi, wali kota besar, hingga teknokrat nonpartai disebut sebagai alternatif kompromi. Namun, tanpa dukungan koalisi yang solid, PM baru tidak akan leluasa meloloskan kebijakan fiskal maupun reformasi pajak. Ketika efektivitas pemerintahan dipertaruhkan, Macron harus memastikan penggantinya tidak sekadar simbol transisi. Dalam konteks Turbulensi Politik Prancis, stabilitas politik lebih berharga dibanding loyalitas partai, sehingga negosiasi lintas blok menjadi keharusan yang sulit dihindari.
Opsi Kedua: Bubarnya Parlemen dan Pemilu Ulang
Skenario kedua yang muncul adalah pembubaran Majelis Nasional. Berdasarkan Pasal 12 Konstitusi, presiden memiliki hak membubarkan parlemen setelah jeda satu tahun pasca-pemilu terakhir. Artinya, Macron kini bisa mengaktifkan opsi ini secara legal. Jika Turbulensi Politik Prancis berujung pada dissolution, maka pemilu legislatif harus diadakan antara 20 hingga 40 hari setelah keputusan diumumkan. Langkah ini berisiko tinggi tetapi bisa membuka peluang pembentukan parlemen baru dengan mandat lebih segar.
Oposisi sayap kiri maupun kanan tentu menyambut skenario ini dengan antusias, karena peluang merebut lebih banyak kursi meningkat. Namun bagi Macron, dissolution juga berarti taruhan besar: bila hasilnya tidak berubah, stagnasi politik justru akan makin parah. Dampak langsung terhadap ekonomi pun tidak kecil—ketidakpastian fiskal dapat menunda persetujuan anggaran dan memperburuk defisit yang kini mendekati 6 persen PDB. Dalam Turbulensi Politik Prancis, keputusan membubarkan parlemen adalah langkah politik paling berani sekaligus paling berisiko bagi karier Macron menjelang akhir masa jabatannya.
Skenario ketiga dan keempat dianggap paling ekstrem dalam Turbulensi Politik Prancis—yakni mundurnya Macron atau pemakzulan (destitusi). Sejauh ini, Macron menegaskan tidak akan mundur sebelum mandatnya berakhir pada 2027. Namun tekanan publik dan oposisi bisa berubah cepat bila krisis ekonomi semakin dalam. Jika presiden memilih mundur, konstitusi mengatur Presiden Senat akan menjadi pelaksana sementara dan pemilu presiden baru harus digelar dalam waktu 20–50 hari.
Baca juga : Vonis Sarkozy Lima Tahun mengguncang politik Prancis
Sementara itu, skenario pemakzulan hampir mustahil secara matematis. Pasal 68 Konstitusi Prancis mensyaratkan dukungan dua pertiga anggota dari dua kamar parlemen agar presiden dapat dicopot atas pelanggaran berat terhadap kewajibannya. Sejauh ini, belum pernah ada presiden yang dimakzulkan sejak sistem V Republik berdiri. Upaya partai sayap kiri untuk memulai proses destitusi pada 2024 pun gagal karena tidak cukup dukungan. Walau demikian, hanya dengan wacana destitusi saja sudah cukup menambah ketegangan dan memperdalam Turbulensi Politik Prancis yang telah meluas hingga ke pasar modal dan lembaga pemeringkat kredit.
Kondisi terkini memperlihatkan pemerintahan berjalan seperti caretaker—menjalankan fungsi administratif tanpa legitimasi politik penuh. Tantangan terbesar bukan sekadar menentukan figur perdana menteri berikutnya, melainkan mengembalikan kepercayaan publik terhadap stabilitas negara. Bila Macron gagal menyeimbangkan kepentingan partai, Turbulensi Politik Prancis berpotensi menjadi krisis konstitusional yang mengguncang tatanan Eropa dan memengaruhi dinamika Uni Eropa menjelang tahun fiskal baru.