Fenomena Disneyfication Montmartre dikecam warga Paris karena pariwisata berlebihan mengubah kawasan seni jadi taman hiburan dan mengusir penduduk lokal. Penduduk di kawasan Montmartre, Paris, kini semakin vokal menentang fenomena Disneyfication Montmartre yang mereka anggap merusak identitas lokal. Fenomena ini terjadi ketika pariwisata massal mengubah kawasan bersejarah menjadi semacam taman hiburan raksasa yang hanya berfokus pada turis, sementara kebutuhan masyarakat asli diabaikan.

Setelah Olimpiade 2024, jumlah wisatawan meningkat tajam. Jalanan Montmartre yang sempit kini selalu padat oleh turis yang sekadar datang untuk berfoto, membeli suvenir, atau menikmati suasana. Dampaknya, toko-toko tradisional yang dahulu melayani warga seperti tukang daging, toko roti, hingga kios keju semakin tersisih. Sebagai gantinya, gerai suvenir dan restoran cepat saji tumbuh pesat demi mengakomodasi wisatawan.

Warga menilai situasi ini semakin memperparah Disneyfication Montmartre, yang tidak hanya merusak atmosfer budaya kawasan, tetapi juga meningkatkan biaya hidup. Sewa rumah melonjak, toko lokal tutup, sementara suara bising dari rombongan turis dan pemandu wisata dengan pengeras suara membuat kehidupan sehari-hari semakin sulit.

Dampak Overtourism di Montmartre

Fenomena Disneyfication Montmartre sebenarnya sudah terlihat sejak satu dekade terakhir. Namun, lonjakan kunjungan wisatawan usai Olimpiade membuat situasi makin tidak terkendali. Montmartre kini dikunjungi lebih dari 11 juta orang per tahun, menjadikannya salah satu destinasi terpopuler di Eropa, bahkan menyaingi Menara Eiffel.

Popularitas film “Amélie” dan serial “Emily in Paris” ikut memperkuat daya tarik kawasan ini di mata wisatawan internasional. Banyak turis datang hanya untuk mengabadikan diri di lokasi syuting atau berjalan di gang-gang sempit yang dipopulerkan media. Hal ini menambah kesan bahwa Montmartre kini sekadar objek tontonan, bukan lagi kawasan komunitas hidup.

Bagi penduduk lokal, konsekuensinya sangat terasa. Harga sewa rumah meningkat drastis karena maraknya bisnis penyewaan jangka pendek seperti Airbnb. Sementara itu, toko-toko yang melayani kebutuhan sehari-hari lenyap satu per satu, digantikan gerai kopi internasional atau toko suvenir. Mobilitas warga pun terganggu karena trotoar dipenuhi rombongan turis yang berfoto.

Situasi ini menimbulkan pertanyaan serius: apakah Paris hanya akan menjadi panggung wisata global, sementara warganya menjadi penonton di rumah sendiri? Jika tidak segera dikendalikan, Disneyfication Montmartre berisiko menghapus warisan budaya otentik yang selama ini menjadi daya tarik utama kawasan tersebut.

Tuntutan Warga untuk Pemerintah Kota

Warga Montmartre kini aktif menyuarakan protes. Spanduk bertuliskan “Residents forgotten!” banyak terlihat di berbagai sudut kota. Mereka menilai pemerintah kota Paris terlalu berpihak pada kepentingan ekonomi pariwisata tanpa memperhatikan keberlangsungan komunitas lokal.

Asosiasi warga mengajukan sejumlah usulan konkret. Pertama, pembatasan jumlah wisatawan dalam satu grup tur demi mengurangi kepadatan. Kedua, larangan penggunaan pengeras suara oleh pemandu wisata karena menambah kebisingan. Ketiga, pemberlakuan pajak turis khusus untuk Montmartre yang hasilnya dapat digunakan memperkuat layanan publik bagi warga.

Selain itu, warga juga meminta adanya perlindungan hukum bagi toko-toko lokal agar tidak terus tersisih. Mereka ingin toko roti, pasar tradisional, hingga warung kopi khas tetap dilestarikan. Upaya ini diharapkan mampu menahan laju Disneyfication Montmartre yang semakin mengkhawatirkan.

Kritik juga diarahkan pada praktik penyewaan jangka pendek yang dianggap memicu kenaikan harga properti. Menurut warga, pemerintah harus memperketat regulasi Airbnb agar tidak semakin menggerus akses warga terhadap hunian terjangkau. Jika tidak, Montmartre hanya akan menjadi kawasan turis tanpa penduduk lokal yang sesungguhnya.

Masa depan Montmartre kini bergantung pada bagaimana pemerintah kota menyeimbangkan kepentingan pariwisata dan kebutuhan penduduk. Paris memang mendapat pemasukan besar dari industri pariwisata, namun jika tidak dikelola dengan hati-hati, keuntungan tersebut bisa mengorbankan identitas lokal yang justru menjadi daya tarik utama.

Banyak pihak menilai, solusi jangka panjang harus berupa regulasi ketat terhadap industri wisata. Misalnya, pengaturan zonasi yang membatasi jumlah toko suvenir, serta insentif pajak bagi toko yang menjual produk lokal. Selain itu, promosi pariwisata juga perlu diarahkan pada pengalaman budaya yang lebih otentik, bukan hanya konsumsi cepat ala turis massal.

Baca juga : Wisata Berlebihan Montmartre Melonjak, Warga Protes

Warga berharap suara mereka didengar. Mereka menekankan bahwa Montmartre bukanlah Disneyland, melainkan sebuah komunitas dengan sejarah panjang dalam seni, budaya, dan kehidupan masyarakat. Jika tren Disneyfication Montmartre tidak dikendalikan, kawasan ini hanya akan menjadi replika palsu dari dirinya sendiri.

Kini, semua mata tertuju pada pemerintah kota Paris. Apakah mereka akan memilih menjaga keseimbangan atau membiarkan Montmartre semakin larut dalam arus pariwisata global? Satu hal yang pasti, bagi warga Montmartre, mempertahankan identitas asli jauh lebih penting daripada keuntungan ekonomi jangka pendek.